Al-Qur`an telah bertutur tentang dua
wanita shalihah yang keimanannya telah menancap kokoh di relung
kalbunya. Dialah Asiyah bintu Muzahim, istri Fir’aun, dan Maryam bintu
‘Imran. Dua wanita yang kisahnya terukir indah di dalam Al-Qur`an itu
merupakan sosok yang perlu diteladani wanita muslimah saat ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:
وَضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِيْنَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ
قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ
فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ.
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا
فِيْهِ مِنْ رُوْحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ
وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِيْنَ
Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang
yang beriman, ketika istri Fir’aun berkata: “Wahai Rabbku, bangunkanlah
untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga. Dan selamatkanlah aku dari
Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.”
(Perumpamaan yang lain bagi orang-orang beriman adalah) Maryam putri
Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya
sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat-kalimat
Rabbnya dan kitab-kitab-Nya, dan adalah dia termasuk orang-orang yang
taat. (At-Tahrim: 11-12)
Asiyah bintu Muzahim, istri Fir’aun, dan Maryam bintu ‘Imran adalah dua
wanita kisahnya terukir indah dalam Al-Qur`an. Ayat-ayat Rabb Yang Maha
Tinggi menuturkan keshalihan keduanya dan mempersaksikan keimanan yang
berakar kokoh dalam relung kalbu keduanya. Sehingga pantas sekali kita
katakan bahwa keduanya adalah wanita yang manis dalam sebutan dan indah
dalam ingatan. Asiyah dan Maryam adalah dua dari sekian qudwah (teladan)
bagi wanita-wanita yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
uswah hasanah bagi para istri kaum mukminin.
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam kitab tafsirnya: “Allah
yang Maha Tinggi berfirman bahwasanya Dia membuat permisalan bagi
orang-orang yang membenarkan Allah dan mentauhidkan-Nya, dengan istri
Fir’aun yang beriman kepada Allah, mentauhidkan-Nya, dan membenarkan
Rasulullah Musa ‘alaihissalam. Sementara wanita ini di bawah penguasaan
suami yang kafir, satu dari sekian musuh Allah. Namun kekafiran suaminya
itu tidak memudharatkannya, karena ia tetap beriman kepada Allah.
Sementara, termasuk ketetapan Allah kepada makhluk-Nya adalah seseorang
tidaklah dibebani dosa orang lain (tapi masing-masing membawa dosanya
sendiri, -pent.1), dan setiap jiwa mendapatkan apa yang ia usahakan.”
(Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/ Tafsir Ath-Thabari, 12/162)
Pada diri Asiyah dan Maryam, ada permisalan yang indah bagi para istri
yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari
akhir. Keduanya dijadikan contoh untuk mendorong kaum mukminin dan
mukminat agar berpegang teguh dengan ketaatan dan kokoh di atas agama.
(Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an/ Tafsir Al-Qurthubi, 9/132)
Seorang istri yang shalihah, ia akan bersabar dengan kekurangan yang ada
pada suaminya dan sabar dengan kesulitan hidup bersama suaminya.
Tidaklah ia mudah berkeluh kesah di hadapan suaminya atau mengeluhkan
suaminya kepada orang lain, apalagi mengghibah suami, menceritakan aib/
cacat dan kekurangan sang suami. Bagaimana pun kekurangan suaminya dan
kesempitan hidup bersamanya, ia tetap bersyukur di sela-sela kekurangan
dan kesempitan tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihkan
lelaki muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir sebagai
pendamping hidupnya. Dan tidak memberinya suami seperti suami Asiyah
bintu Muzahim yang sangat kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
berbuat aniaya terhadap istri karena ia beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tersebutlah, ketika sang durjana yang bergelar Fir’aun itu
mengetahui keimanan Asiyah istrinya, ia keluar menemui kaumnya lalu
bertanya: “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah bintu Muzahim?”
Merekapun memujinya. Fir’aun berkata: “Ia menyembah Tuhan selain aku.”
Mereka berkata: “Kalau begitu, bunuhlah dia.” Maka Fir’aun membuat
pasak-pasak untuk istrinya, kemudian mengikat kedua tangan dan kedua
kaki istrinya, kemudian menyiksanya di bawah terik matahari. Jika
Fir’aun berlalu darinya, para malaikat menaungi Asiyah dengan
sayap-sayap mereka. Asiyah berdoa: “Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku
di sisi-Mu sebuah rumah di dalam surga.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkan doa Asiyah dengan membangunkan
sebuah rumah di surga untuknya. Dan rumah itu diperlihatkan kepada
Asiyah, maka ia pun tertawa. Bertepatan dengan itu Fir’aun datang.
Melihat Asiyah tertawa, Fir’aun berkata keheranan: “Tidakkah kalian
heran dengan kegilaan Asiyah? Kita siksa dia, malah tertawa.”
Menghadapi beratnya siksaan Fir’aun, hati Asiyah tidak lari untuk
berharap kepada makhluk. Ia hanya berharap belas kasih dan pertolongan
dari Penguasa makhluk, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia berdoa agar
diselamatkan dari siksaan yang ditimpakan Fir’aun dan kaumnya serta
tidak lupa memohon agar diselamatkan dari melakukan kekufuran
sebagaimana yang diperbuat Fir’aun dan kaumnya.2
Akhir dari semua derita dunia itu, berujung dengan dicabutnya ruh Asiyah untuk menemui janji Allah Subhanahu wa Ta’ala.3
Istri yang shalihah akan menjaga dirinya dari perbuatan keji dan segala
hal yang mengarah ke sana. Sehingga ia tidak keluar rumah kecuali karena
darurat, dengan izin suaminya. Kalaupun keluar rumah, ia memperhatikan
adab-adab syar‘i. Dia menjaga diri dari bercampur baur apalagi khalwat
(bersepi-sepi/ berdua-duaan) dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Ia
tidak berbicara dengan lelaki ajnabi (non mahram) kecuali karena
terpaksa dengan tidak melembut-lembutkan suara. Dan ia tidak melepas
pandangannya dengan melihat apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Ia ingat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Maryam yang
sangat menjaga kesucian diri, sehingga ketika dikabarkan oleh Jibril
bahwa dia akan mengandung seorang anak yang kelak menjadi rasul pilihan
Allah, Maryam berkata dengan heran:
أَنَّى يَكُوْنُ لِي غُلاَمٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا
“Bagaimana aku bisa memiliki seorang anak laki-laki sedangkan aku
tidak pernah disentuh oleh seorang manusia (laki-laki) pun dan aku bukan
pula seorang wanita pezina.” (Maryam: 20)
Wanita shalihah akan mengingat bagaimana keimanan Maryam kepada Allah
dan bagaimana ketekunannya dalam beribadah, sehingga Allah Subhanahu wa
Ta’ala memilihnya dan mengutamakannya di atas seluruh wanita.
وَإِذْ قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسآءِ الْعَالَمِيْنَ
Ingatlah ketika malaikat Jibril berkata: “Wahai Maryam, sesungguhnya
Allah telah memilihmu, mensucikan dan melebihkanmu di atas segenap
wanita di alam ini (yang hidup di masa itu).” (Ali ‘Imran: 42)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
حَسْبُكَ مِنْ نِسَاءِ الْعَالَمِيْنَ: مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ
وَخَدِيْجَةُ بِنْتَ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ
امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ
“Cukup bagimu dari segenap wanita di alam ini (empat wanita, yaitu:)
Maryam putri Imran, Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad,
dan Asiyah istri Fir’aun.”4
Yakni cukup bagimu untuk sampai kepada martabat orang-orang yang
sempurna dengan mencontoh keempat wanita ini, menyebut kebaikan-kebaikan
mereka, kezuhudan mereka terhadap kehidupan dunia, dan tertujunya hati
mereka kepada kehidupan akhirat. Kata Ath-Thibi, cukup bagimu dengan
mengetahui/ mengenal keutamaan mereka dari mengenal seluruh wanita.
(Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Manaqib)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda memuji Asiyah dan Maryam5:
كَمُلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيْرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ
إِلاَّ آسِيَةُ امْرَأُةُ فِرْعَوْنَ وَمَرْيَمُ ابْتَةُ عِمْرَانَ،
وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيْدِ عَلى
سَائِرِ الطَّعَامِ
“Orang yang sempurna dari kalangan laki-laki itu banyak, namun tidak
ada yang sempurna dari kalangan wanita kecuali Asiyah istri Fir’aun dan
Maryam putri Imran. Sungguh keutamaan ‘Aisyah bila dibanding para wanita
selainnya seperti kelebihan tsarid6 di atas seluruh makanan.”7
Di antara keutamaan Asiyah adalah ia memilih dibunuh daripada
mendapatkan (kenikmatan berupa) kerajaan (karena suaminya seorang raja).
Dan ia memilih azab/ siksaan di dunia daripada mendapatkan kenikmatan
yang tadinya ia reguk di istana sang suami yang dzalim. Ternyata
firasatnya tentang Musa benar adanya ketika ia berkata kepada Fir’aun
saat mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Musa ‘alaihissalam
sebagai anak angkatnya: قُرَةُ عَيْنٍ لِي (agar ia menjadi penyejuk mata
bagiku).8 (Fathul Bari 6/544)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Ayat-ayat ini (surat
At-Tahrim ayat 10-12) mengandung tiga permisalan, satu untuk orang-orang
kafir dan dua permisalan lagi untuk kaum mukminin.”
Setelah beliau menyebutkan permisalan bagi orang kafir, selanjutnya
beliau berkata: “Adapun dua permisalan bagi orang-orang beriman, salah
satunya adalah istri Fir’aun. Sisi permisalannya: Hubungan seorang
mukmin dengan seorang kafir tidaklah bermudharat bagi si mukmin
sedikitpun, apabila si mukmin memisahkan diri dari orang kafir tersebut
dalam kekafiran dan amalannya. Karena maksiat yang diperbuat orang lain
sama sekali tidak akan berbahaya bagi seorang mukmin yang taat di
akhiratnya kelak, walaupun mungkin ketika di dunia ia mendapatkan
kemudharatan dengan sebab hukuman yang dihalalkan bagi penduduk bumi
bila mereka menyia-nyiakan perintah Allah, lalu hukuman itu datang
secara umum (sehingga orang yang baik pun terkena). Istri Fir’aun
tidaklah mendapatkan mudharat karena hubungannya dengan Fir’aun, padahal
Firaun itu adalah manusia paling kafir. Sebagaimana istri Nabi Nuh dan
Nabi Luth ‘alaihimassalam tidak mendapatkan kemanfaatan karena hubungan
keduanya dengan dua utusan Rabb semesta alam.
Permisalan yang kedua bagi kaum mukminin adalah Maryam, seorang wanita
yang tidak memiliki suami, baik dari kalangan orang mukmin ataupun dari
orang kafir. Dengan demikian, dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga
macam wanita:
Pertama: wanita kafir yang bersuamikan lelaki yang shalih.9
Kedua: wanita shalihah yang bersuamikan lelaki yang kafir.
Ketiga: gadis perawan yang tidak punya suami dan tidak pernah berhubungan dengan seorang lelakipun.
Jenis yang pertama, ia tidak mendapatkan manfaat karena hubungannya dengan suami tersebut.
Jenis kedua, ia tidak mendapatkan mudharat karena hubungannya dengan suami yang kafir.
Jenis ketiga, ketiadaan suami tidak bermudharat sedikitpun baginya.
Kemudian, dalam permisalan-permisalan ini ada rahasia-rahasia indah yang
sesuai dengan konteks surat ini. Karena surat ini diawali dengan
menyebutkan istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
peringatan kepada mereka dari saling membantu menyusahkan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam10. Bila mereka (istri-istri Nabi) itu
tidak mau taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak menginginkan hari
akhirat, niscaya tidak bermanfaat bagi mereka hubungan mereka dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana istri Nuh dan
istri Luth tidak mendapatkan manfaat dari hubungan keduanya dengan suami
mereka. Karena itulah di dalam surah ini dibuat permisalan dengan
hubungan nikah11 bukan hubungan kekerabatan.
Yahya bin Salam berkata: “Allah membuat permisalan yang pertama untuk
memperingatkan ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma. Kemudian
memberikan permisalan kedua bagi keduanya untuk menganjurkan keduanya
agar berpegang teguh dengan ketaatan.
Adapula pelajaran lain yang bisa diambil dari permisalan yang dibuat
untuk kaum mukminin dengan Maryam. Yaitu, Maryam tidak mendapatkan
mudharat sedikit pun di sisi Allah dengan tuduhan keji yang dilemparkan
Yahudi dan musuh-musuh Allah terhadapnya. Begitu pula sebutan jelek
untuk putranya, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mensucikan keduanya
dari tuduhan tersebut. Perlakuan jahat dan tuduhan keji itu ia dapatkan
padahal ia adalah seorang ash-shiddiqah al-kubra (wanita yang sangat
benar keimanannya, sempurna ilmu dan amalnya12), wanita pilihan di atas
segenap wanita di alam ini. Lelaki yang shalih (yakni Isa putra Maryam
‘alaihissalam) pun tidak mendapatkan mudharat atas tuduhan orang-orang
fajir dan fasik terhadapnya.
Dalam ayat ini juga ada hiburan bagi ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu
‘anha (atas tuduhan keji yang ia terima dari orang-orang munafik), jika
surat ini turun setelah peristiwa Ifk13. Dan sebagai persiapan bagi
jiwanya untuk menghadapi apa yang dikatakan para pendusta, bila surat
ini turun sebelum peristiwa Ifk.
Sebagaimana dalam permisalan dengan istri Nuh dan Luth ada peringatan
bagi ‘Aisyah dan juga Hafshah dengan apa yang diperbuat keduanya
terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (At-Tafsirul Qayyim, hal.
396-498)
Demikian, semoga menjadi teladan dan pelajaran berharga bagi para istri shalihah…
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Tanzil-Nya:
وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan tidaklah seseorang melakukan suatu dosa melainkan kemudharatannya
kembali kepada dirinya sendiri, dan seseorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain.” (Al-An’am: 164)
2 Faedah: Al-’Allamah Al-Alusi rahimahullahu dalam tafsirnya mengatakan:
“Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa beristi`adzah (minta perlindungan)
kepada Allah dan mohon keselamatan dari-Nya ketika terjadi ujian/
cobaan dan goncangan, merupakan kebiasaan yang dilakukan orang-orang
shalih dan sunnah para nabi. Dan ini banyak disebutkan dalam Al-Qur`an.”
(Ruhul Ma’ani fi Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim was Sab’il Matsani, 13/791)
3 Jami’ul Bayan fi Ta‘wilil Qur`an 12/162, Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an/
Tafsir Al-Qurthubi 9/132, Ruhul Ma’ani 13/790, An-Nukat wal ‘Uyun Tafsir
Al-Mawardi 6/47.
4 HR. At-Tirmidzi no. 3878, kitab Manaqib ‘an Rasulillah, bab Fadhlu
Khadijah radhiallahu ‘anha, dari hadits Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih
At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 6181.
5 Ada sebagian atsar yang menyebutkan bahwa Maryam dan Asiyah diperistri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga, sebagaimana riwayat
Ath-Thabrani dari Sa’ad bin Junadah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ زَوَّجَنِي فِي الْجَنَّةِ مَرْيَمَ بِنْتَ عِمْرَانَ وَامْرَأَةَ فِرْعَوْنَ وَأُخْتَ مُوْسى عَلَيْهِ السَّلاَمِ
“Sesungguhnya Allah menikahkan aku di surga dengan Maryam bintu Imran,
istri Fir’aun (Asiyah), dan dengan (Kultsum) saudara perempuannya Musa
‘alaihissalam.”
Namun hadits ini lemah, Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah (no. 812) mengatakan hadits ini mungkar.
Adapun pendapat yang mengatakan Maryam dan Asiyah adalah nabi dari
kalangan wanita sebagaimana Hajar dan Sarah, tidaklah benar karena
syarat nubuwwah (kenabian) adalah dari kalangan laki-laki, menurut
pendapat yang shahih. (Ruhul Ma’ani, 13/793)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوْحِي إِلَيْهِمْ
“Tidaklah Kami mengutus rasul sebelummu kecuali dari kalangan laki-laki yang Kami berikan wahyu kepada mereka.” (An-Nahl: 43)
6 Tsarid adalah makanan istimewa berupa daging dicampur roti yang dilumatkan.
7 HR. Al-Bukhari no. 3411, kitab Ahaditsul Anbiya, bab Qaulillahi
Ta’ala: Wa Dharaballahu Matsalan lilladzina Amanu… . Diriwayatkan pula
oleh Al-Imam Muslim no. 6222, kitab Fadha`il Ash-Shahabah.
8 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُوْنَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا إِنَّ
فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُوْدَهُمَا كَانُوْا خَاطِئِيْنَ. وَقَالَتِ
امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لاَ تَقْتُلُوْهُ عَسَى
أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لاَ يَشْعُرُوْنَ
“Maka Musa dipungut oleh keluarga Fir’aun yang kemudian ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya
Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.
Dan berkatalah istri Fir’aun kepada suaminya: ‘Ia adalah penyejuk mata
hati bagiku dan bagimu. Janganlah kalian membunuhnya, mudah-mudahan ia
bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak.’ Sedangkan mereka
tiada menyadari.” (Al-Qashash: 8-9)
9 Yaitu istri Nabi Nuh ‘alaihissalam dan istri Nabi Luth ‘alaihissalam
10 Lihat surat At-Tahrim ayat 1 sampai 5.
11 Hubungan istri dengan suaminya; istri Nuh dengan suaminya, istri Luth dengan suaminya, dan Asiyah dengan suaminya Fir‘aun.
12 Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 875
13 Kisah Ifk ini (tuduhan zina terhadap ‘Aisyah) beserta pernyataan
kesucian ‘Aisyah diabadikan dalam Al-Qur`an, surah An-Nur ayat 11-26.
Menumbuhkan Suasana Ibadah di dalam Rumah
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Bagi seorang muslim ataupun muslimah, menjalani kehidupan rumah
tangga adalah bagian dari ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karena disadari, hidup berumah tangga merupakan pelaksanaan dari sunnah1
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau mengancam
orang yang membenci sunnah ini sebagai orang yang tidak menyepakati
jalan yang beliau lalui. Shahabat Nabi yang mulia Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu menuturkan:
جاَءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا،
فَقَالُوْا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ؟ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا
تَأَخَّرَ. قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَا أَنَا فَأَناَ أُصَلِّى اللَّيْلَ
أَبَدًا. وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ. وَقاَلَ
آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أبَدًا. فَجَاءَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَنْتُمُ
الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ
لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي
وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي
فَلَيْسَ مِنِّي
Datang tiga orang shahabat ke rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam guna menanyakan tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ketika dikabarkan bagaimana ibadah beliau, seakan-akan mereka
menganggapnya kecil. Mereka berkata: ‘Di mana posisi kita dibanding Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sementara Allah telah mengampuni
dosa-dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang’. Salah seorang
dari mereka berkata: “Adapun aku, aku akan shalat malam semalam suntuk’.
Yang satu lagi berkata: “Aku akan puasa sepanjang masa dan tidak pernah
berbuka’. Yang lainnya mengatakan: “Aku akan menjauhi wanita maka aku
tidak akan menikah selama-lamanya”. Datanglah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan dikabarkan ucapan mereka itu kepada beliau. Maka
beliau pun bersabda: “Apakah kalian yang mengatakan ini dan itu? Demi
Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian
dan paling bertakwa kepada Allah. Akan tetapi aku puasa dan aku juga
berbuka, aku shalat dan aku juga tidur, dan aku menikahi para wanita.
Siapa yang membenci sunnahku2 maka ia bukan termasuk orang yang berjalan
di atas jalanku’.”3
Demikianlah, karena menikah adalah ibadah, hidup berumah tangga adalah
ibadah sehingga dalam perjalanan rumah tangganya sehari-hari tak lepas
dari nilai ibadah. Ia upayakan agar rumah tangganya selalu dipenuhi
dengan amalan ketaatan, perbuatan baik dan takwa yang dilakukan seluruh
penghuni rumah. Ia memerintahkan mereka, menganjurkan dan mendorong
mereka untuk beramal shalih, karena demikianlah yang diperintahkan
Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَ نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah
atasnya. Kami tidak meminta rizki kepadamu bahkan Kamilah yang memberimu
rizki dan balasan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.”
(Thaha: 132)
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di4
rahimahullahu berkata menafsirkan ayat وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ:
“Anjurkan keluargamu untuk menegakkan shalat, dorong mereka untuk
mengerjakannya baik shalat yang wajib maupun yang sunnah. Perintah untuk
melakukan sesuatu mencakup perintah untuk melakukan seluruh perkara
yang dibutuhkan guna menyempurnakan sesuatu tersebut. Sehingga perintah
shalat dalam ayat ini mencakup perintah untuk mengajari keluarga tentang
amalan shalat, apa yang bisa memperbaiki shalat, apa yang bisa
merusaknya, dan apa yang bisa menyempurnakannya.
وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا Yakni: bersabarlah dalam menegakkan shalat, dengan
hukum, rukun, adab-adab, dan khusyuknya. Karena hal itu berat bagi
jiwa, akan tetapi sepantasnya jiwa itu dipaksa dan dibuat
bersungguh-sungguh untuk mengamalkan shalat. Sabar bersama amalan shalat
itu berlangsung terus menerus. Karena bila seorang hamba mengerjakan
shalat sesuai dengan apa yang diperintahkan, niscaya amalan agama selain
shalat akan lebih terjaga dan lebih lurus. Namun bila ia menyia-nyiakan
shalat, niscaya amalan lainnya lebih tersia-siakan.” (Taisir Al-Karimir
Rahman, hal. 517)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji salah seorang nabinya yang mulia, Nabi Ismail ‘alaihissalam, dengan firman-Nya:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيْلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ
الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا. وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ
بِالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
“Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang
tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya Ismail adalah seorang yang
benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dia menyuruh
keluarganya untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, dan dia
adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 54-55)
Al-Allamah Abu Ats-Tsana` Syihabuddin As-Sayyid Mahmud Al-Alusi
Al-Baghdadi5 rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ (Dia menyuruh
keluarganya untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat) dalam rangka
menyibukkan diri dengan yang paling penting yaitu seorang lelaki (suami/
kepala rumah tangga) setelah ia menyempurnakan dirinya ia mulai
menyempurnakan orang yang paling dekat dengannya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَ أَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ
“Berilah peringatan kepada keluarga/ kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu`ara’: 214)
وَ أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ
“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat.” (Thaha: 132)
قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Atau ia bertujuan untuk menyempurnakan semua orang dengan terlebih
dahulu menyempurnakan mereka (anggota keluarganya/ orang yang terdekat
dengannya) karena mereka merupakan qudwah/ contoh teladan yang akan
ditiru oleh manusia.” (Ruhul Ma‘ani, 9/143)
Sabda Nabi yang mulia pun turut menjadi pendorongnya untuk menganjurkan
keluarganya kepada kebajikan. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ الّليْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ
امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ, فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ. وَ
رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ الّليْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ
زَوْجَهَا فَصَلَّى, فَإِنْ أَبَى نَضَحَت فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki (suami) yang bangun di waktu
malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya hingga
istrinya pun shalat. Bila istrinya enggan, ia percikkan air ke wajahnya.
Dan semoga Allah merahmati seorang wanita (istri) yang bangun di waktu
malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suaminya hingga
suaminya pun shalat. Bila suaminya enggan, ia percikkan air ke
wajahnya.”6
Al-Allamah Al-‘Azhim Abadi rahimahullahu menerangkan hadits di atas
dengan menyatakan bahwa Allah merahmati seorang lelaki yang shalat
tahajjud pada sebagian malam dan ia membangunkan istrinya ataupun wanita
yang merupakan mahramnya, baik dengan peringatan atau nasehat hingga si
istri pun mengerjakan shalat walau hanya satu raka‘at. Bila istrinya
enggan untuk bangun karena kantuk yang sangat atau perasaan malas yang
lebih dominan, ia memercikkan air ke wajah istrinya. Yang dimaukan di
sini adalah ia berlaku lembut kepada istrinya dan berusaha
membangunkannya untuk mengerjakan amalan ketaatan kepada Rabbnya selama
memungkinkan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوى
“Tolong menolonglah kalian dalam perbuatan kebaikan dan ketakwaan.”
Hadits ini menunjukkan bolehnya bahkan disenangi memaksa seseorang untuk
melakukan amal kebaikan. Sebagaimana hadits ini menerangkan tentang
pergaulan yang baik antara suami dengan istrinya, kelembutan yang
sempurna, kesesuaian, kecocokan dan kesepakatan di antara keduanya.
(Lihat Aunul Ma‘bud, kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللّيْلِ فَصَلَّيَا أَوْ
صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا، كُتِبَا في الذَّاكِرِيْنَ وَالذَّاكِرَاتِ
“Apabila seorang lelaki (suami) membangunkan keluarganya di waktu
malam hingga keduanya mengerjakan shalat atau shalat dua rakaat
semuanya, maka keduanya dicatat termasuk golongan laki-laki dan
perempuan yang berzikir.”7
Dalam riwayat yang dikeluarkan An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz:
إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ
فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ, كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا
وَالذَّاكِرَاتِ
“Apabila seorang lelaki (suami) bangun di waktu malam dan ia
membangunkan istrinya lalu keduanya mengerjakan shalat dua rakaat, maka
keduanya dicatat termasuk golongan laki-laki dan perempuan yang banyak
mengingat/ berdzikir kepada Allah.”
Yang dimaksud dengan keluarga dalam hadits di atas meliputi istri,
anak-anak, kerabat, budak laki-laki maupun perempuan. (Aunul Ma‘bud,
kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail). Dan hadits di atas
tidaklah menunjukkan syarat harus suami yang membangunkan istrinya namun
yang dimaukan adalah bila salah seorang dari keduanya terbangun di
waktu malam maka ia membangunkan yang lain (Syarhu Sunan Ibni Majah,
Al-Imam As-Sindi, 1/401)
Sungguh beruntung pasangan suami istri atau keluarga yang mengamalkan
hadits di atas karena mereka akan tercatat sebagai orang-orang yang
banyak berzikir kepada Allah. Dan ganjarannya, mereka akan beroleh
ampunan berikut pahala yang besar, sebagaimana Rabbul ‘Izzah berfirman:
اَلذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا
“Kaum laki-laki dan perempuan yang banyak berzikir kepada Allah,
Allah menyiapkan bagi mereka ampunan-Nya dan pahala yang besar.”
(Al-Ahzab: 35)
Kasih sayang dan kelembutan seorang suami ataupun seorang istri kepada
keluarganya semestinya tidak menghalanginya untuk menasehati dan
menganjurkan mereka agar senantiasa meningkatkan ibadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana hal ini diperbuat qudwah shalihah dan
uswah hasanah kita, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada keluarganya. Di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membangunkan mereka untuk mengerjakan shalat malam. ‘Aisyah radhiallahu
‘anha mengabarkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى وَأَنَا
رَاقِدَةٌ مُعْتَرِضَةً عَلى فِرَاشِهِ, فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوْتِرَ
أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sedangkan aku
tidur dalam keadaan melintang di atas tempat tidurnya. Bila beliau
hendak shalat witir beliau pun membangunkan aku, maka aku pun
mengerjakan witir.” 8
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, istri beliau yang lain juga berkisah:
أن النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَيْقَطَ لَيْلَةً,
فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ الْلَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ,
مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَزَائِنِ, مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجرَاتِ؟
يَا رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الآخِرَةِ
“Suatu malam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun. Beliau
bersabda: “Maha suci Allah, fitnah apakah yang diturunkan pada malam ini
dan perbendaharaan apakah yang diturunkan pada malam ini? Siapakah yang
akan membangunkan para penghuni kamar-kamar itu9. Berapa banyak orang
yang berpakaian di dunia ini namun di akhirat ia telanjang10.”
Tidak sebatas istri-istrinya, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga membangunkan anak dan menantunya untuk mengerjakan shalat,
sebagaimana dikisahkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَرَقَهُ
وَفَاطِمَةَ بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً,
فَقَالَ: أَلاَ تُصَلِّيَانِ؟
Suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendatanginya dan Fathimah putri Nabi, seraya berkata: “Tidakkah kalian
berdua bangun untuk mengerjakan shalat?”11
Ibnu Baththal rahimahullahu berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan
shalat malam (shalat lail/ tahajjud) dan membangunkan keluarga serta
kerabat yang tidur agar mengerjakan shalat malam tersebut.” (Fathul
Bari, 3/15-16)
Ath-Thabari rahimahullahu menyatakan, seandainya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengetahui adanya keutamaan yang besar dalam
shalat lail niscaya beliau tidak akan mengusik putrinya dan anak
pamannya pada waktu yang memang Allah jadikan sebagai saat ketenangan/
istirahat bagi makhluk-Nya. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memilih keduanya agar memperoleh keutamaan itu daripada merasakan
lelapnya dan enaknya tidur. Beliau lakukan hal tersebut dalam rangka
menjalankan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَأْمُرْ أَهْلَكَ
بِالصَّلاَةِ (Perintahkanlah keluargamu untuk shalat). (Fathul Bari,
3/16)
Demikianlah seharusnya hidup berumah tangga. Sepasang insan yang beriman
kepada Allah dan hari akhir selalu dipenuhi dengan ibadah dan amal
ketaatan kepada Allah, ajakan dan anjuran kepada anggota keluarga untuk
mengerjakan kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Sehingga kita
dapatkan keluarga muslim adalah keluarga yang senantiasa berlomba-lomba
kepada kebaikan, terdepan dalam menjalankan titah Ar-Rahman:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Berlomba-lombalah kalian kepada kebaikan.” (Al-Baqarah: 148)
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ
وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ ذُو
الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
“Bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang
yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Yang demikian itu adalah
keutamaan Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah
memiliki keutamaan yang besar.” (Al-Hadid: 21)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
1 Yang dimaksud dengan sunnah di sini adalah jalan/ cara bukan sunnah yang merupakan lawan dari wajib/ fardlu
2 Membenci sunnahku yakni meninggalkan jalanku dan mengambil selain jalanku (Fathul Bari, 9/133)
3 HR. Al-Bukhari no. 5063, kitab An-Nikah, bab At-Targhib fin Nikah dan Muslim no. 3389, kitab An-Nikah, bab Istihbabun Nikah ….
4 Lahir 12 Muharram 1307 H (1886 M) dan wafat 24 Jumadits Tsaniyah 1376 H (1955 M)
5 Wafat th. 1270 H
6 HR. Abu Dawud no. 1308 kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil
Lail, An-Nasa`i no. 1609 bab At-Targhib fi Qiyamil Lail dan Ibnu Majah
no. 1336 bab Ma Ja`a Fiman Ayqazha Ahlahu Minal Laili, dihasankan
Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain,
2/303
7 HR. Abu Dawud no. 1309 kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil
Lail, dan Ibnu Majah no. 1335 bab Ma Ja`a Fiman Aiqazha Ahlahu Minal
Laili. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, Shahih
Ibni Majah, dan Al-Misykat no. 1238.
8 HR. Al-Bukhari no. 997 kitab Al-Witr, bab Iqazhun Nabiyyi Ahlahu bil
Witr dan Muslim no. 1141, bab I‘tirad baina Yadayil Mushalli
9 Yang beliau maksudkan adalah istri-istri beliau agar mereka bangun guna mengerjakan shalat (Fathul Bari 3/15)
10 HR. Al-Bukhari no. 1126, kitab At-Tahajjud, bab Tahridlin Nabiyyi ‘ala Qiyamil Laili wan Nawafil min Ghairi Ijab…
11 HR. Al-Bukhari no. 1127 kitab At-Tahajjud, bab Tahridlin Nabiyyi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ala Qiyamil Laili wan Nawafil min Ghairi
Ijab… dan Muslim no. 1815, kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha, bab Ma
Ruwiya Fiman Namal Laila Ajma‘ Hatta Ashbaha.
Ada Saatnya…
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Manusia tidak selamanya bisa menghadirkan hati untuk selalu mengingat
akhirat. Dalam hidup berumah tangga, ada saat-saat bagi kita untuk
bercanda dengan anak-anak, bermesraan dengan suami, dan
kesenangan-kesenangan dunia lainnya. Bagaimana mengelola itu semua
sehingga kehidupan kita senantiasa dalam naungan syariat?
Mungkin pernah terlintas di benak kita bahwa hari-hari bersama suami
dan anak-anak kadang dipenuhi dengan kelalaian. Kita disibukkan untuk
melayani mereka, mengurusi dan mempersiapkan kebutuhan mereka. Belum
lagi menyempatkan diri untuk duduk bermesraan dan bercengkerama dengan
suami, ditambah dengan bermain dan bersenda gurau dengan anak-anak.
Bersama mereka, kita selalu tertawa dan seakan lupa dengan kehidupan
setelah kehidupan ini. Bersama mereka, seakan kita merasa kebersamaan
ini akan kekal, tidak akan ada perpisahan. Yang ada hanyalah kebahagiaan
demi kebahagiaan, kesenangan demi kesenangan. Bersama mereka seakan
kita hidup hanya untuk dunia… Bersama mereka kita terbuai, lupa dan
lalai…
Namun saat duduk sendiri dalam keheningan malam, bersimpuh di hadapan
Ar-Rahman, ketika orang-orang yang dikasihi sedang terlelap dalam
mimpi-mimpi indah mereka, timbul ingatan dan kesadaran bahwa semua itu
tidaklah kekal, bahwa ada saat perjumpaan dengan Ar-Rahman. Di sana ada
kenikmatan yang menanti dan ada azab yang tak terperikan. Hati menjadi
lunak hingga mata pun mudah meneteskan butiran beningnya, terasa tak
ingin berpisah dengan perasaan seperti ini. Ingin selalu rasa ini
menyertai, ingin selalu tangis ini mengalir membasahi pipi…. Ingin dan
ingin selalu ingat dengan akhirat, berpikir tentang akhirat di sepanjang
waktu tanpa lupa sedetik pun dan tanpa lalai sekerdip mata pun.
Demikian pula ketika kita duduk di majelis dzikir, majelis ilmu yang
haq, mendengar ceramah seorang ustadz tentang dunia dengan kefanaan dan
kerendahannya, tentang akhirat dengan kemuliaannya, tentang targhib dan
tarhib, tentang kenikmatan surga dan azab neraka… Kembali kita ingat
bahwa tawa canda dan kegembiraan kita dalam rumah tangga, bersama suami
dan anak-anak, adalah kefanaan. Ada kehidupan setelah kehidupan dunia
yang hanya sementara ini.
Pikiran seperti ini bisa saja suatu saat timbul di benak kita, sehingga
terkadang membuat kita terusik, didera keresahan dan kebimbangan.
Benarkah sikapku? Salahkah perbuatanku?
Saudariku…
Perasaan yang mungkin agak mirip dengan yang pernah engkau rasakan juga
pernah dialami para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mulia. Hanzhalah Al-Asadi radhiallahu ‘anhu seorang shahabat yang
terhitung dalam jajaran juru tulis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertutur:
Suatu ketika, aku berjumpa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
“Ada apa denganmu, wahai Hanzhalah?” tanyanya1.
“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku.
“Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakr.
“Bila kita berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan
kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar
meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri,
anak dan harta kita (sawah ladang ataupun pekerjaan, –pent.) menyibukkan
kita2, hingga kita banyak lupa/ lalai,” kataku.
“Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu3,” Abu Bakr menanggapi perasaan Hanzhalah.
Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam hingga kami dapat masuk ke tempat beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku.
“Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasulullah, bila kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami
tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan
mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, istri,
anak dan harta kami (sawah ladang ataupun pekerjaan, –pent.) melalaikan
kami, hingga kami banyak lupa/ lalai4,” jawabku.
Mendengar penuturan yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنْ لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا
تَكُوْنُوْنَ عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلائِكَةُ عَلَى
فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً سَاعَةً.
(ثَلاَثَ مَرَّاتٍ)
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian tetap
berada dalam perasaan sebagaimana yang kalian rasakan ketika berada di
sisiku dan selalu ingat demikian, niscaya para malaikat akan menjabat
tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian.
Akan tetapi wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. (HR.
Muslim no. 6900, kitab At-Taubah, bab Fadhlu Dawamidz Dzikr wal Fikr fi
Umuril Akhirah wal Muraqabah, wa Jawazu Tarki Dzalik fi Ba’dhil Auqat
wal Isytighal bid Dunya)
Dalam riwayat lain disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan lafadz:
يَا حَنْظَلَةُ، سَاعَةً سَاعَةً، وَلَوْ كَانَتْ تَكُوْنُ قُلُوْبُكُمْ
كَمَا تَكُوْنُ عِنْدَ الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى
تُسَلِّمَ عَلَيْكُمْ فِي الطُُّرُقِ
“Wahai Hanzhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya
hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat
akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga
mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.” (HR. Muslim no.
6901)
Hanzhalah radhiallahu ‘anhu dengan kemuliaan dirinya sebagai salah
seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah
membuatnya merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan ia
merasa khawatir bila ia termasuk orang munafik, karena saat berada di
majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam rasa khauf (takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan azab-Nya yang pedih) terus menyertainya,
dibarengi muraqabah (merasa terus dalam pengawasan Allah Subhanahu wa
Ta’ala), berpikir dan menghadapkan diri kepada akhirat. Namun ketika
keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia
disibukkan dengan istri, anak-anak dan penghidupan dunia. Hanzhalah
khawatir hal itu merupakan kemunafikan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun mengajari Hanzhalah dan para shahabat yang lain bahwa
keadaan seperti itu bukanlah kemunafikan. Karena mereka tidaklah
dibebani untuk terus menerus harus memikirkan dan menghadapkan diri
hanya pada kehidupan akhirat. Ada waktunya begini dan ada waktunya
begitu. Ada saatnya memikirkan akhirat dan ada saatnya mengurusi
penghidupan di dunia. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)
Ketika Hanzhalah radhiallahu ‘anhu mengeluhkan perasaan dan keadaan
dirinya yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan bila keadaannya sama dengan keadaannya ketika bersama beliau,
merasa hatinya itu lunak dan takut kepada Allah. Terus keadaannya
demikian di mana pun ia berada, niscaya para malaikat dengan
terang-terangan akan menyalaminya di majelisnya, di atas tempat tidurnya
dan di jalan-jalannya.
Namun yang namanya manusia tidaklah bisa demikian. Ada waktunya ia bisa
menghadirkan hatinya untuk mengingat akhirat, dan ada saatnya ia lemah
dari ingatan akan akhirat. Ketika waktunya ingat akan akhirat, ia bisa
menunaikan hak-hak Rabbnya dan mengatur perkara agamanya. Saat waktunya
lemah, ia mengurusi bagian dari kehidupan dunianya ini. Dan tidaklah
seseorang dianggap munafik bila demikian keadaannya, karena
masing-masingnya merupakan rahmah atas para hamba. (Tuhfatul Ahwadzi,
kitab Shifatul Qiyamah war Raqa`iq wal Wara’, bab ke 59, Syarhu Sunan
Ibni Majah, 2/560)
Al-Imam As-Sindi rahimahullahu menjelaskan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam (لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ) : “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan mereka bahwa biasanya hati
itu tidak selamanya dapat dihadirkan untuk selalu ingat akhirat. Namun
hal itu tidaklah memudharatkan bagi keberadaan iman di dalam hati,
karena kelalaian/ saat hati itu lupa tidaklah melazimkan (mengharuskan)
hilangnya keimanan.” (Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/559-560)
Demikianlah ajaran yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada umatnya, kepada para suami dan tentunya juga untuk para
istri. Kesibukan dalam rumah tangga, bersenda gurau dengan suami dan
bermain-main dengan anak-anak hingga kadang membuat lupa dan lalai,
bukanlah suatu dosa yang dapat menghilangkan keimanan dalam hati.
Ada saatnya memang manusia itu lupa dan lalai karena memang demikian
tabiat mereka yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Yang dicela
hanyalah bila ia terus tenggelam dalam kelalaian, ridha terlena dengan
keadaan yang demikian, dan memang enggan untuk bangkit memperbaiki diri.
Pikirannya hanya dunia dan dunia, tanpa mengingat akhirat. Namun bila
terkadang lupa kemudian ingat, ia bersemangat kembali. Demikianlah sifat
manusia, manusia bukanlah malaikat yang mereka memang diciptakan semata
untuk taat dan selalu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
selalu mengerjakan dengan sempurna apa yang diperintahkan, tanpa lalai
sedikitpun.
وَمَنْ عِنْدَهُ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَ
يَسْتَحْسِرُوْنَ. يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لاَ يَفْتُرُوْنَ
“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa
angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak pula mereka merasa letih.
Mereka selalu bertasbih kepada Allah siang dan malam tiada
hentinya-hentinya.” (Al-Anbiya`: 19-20)
Para malaikat itu tidak pernah lelah, tidak pernah bosan dan jenuh
karena kuatnya raghbah (harapan) mereka (kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala), sempurnanya mahabbah (cinta) mereka, dan kuatnya tubuh mereka.
Mereka tenggelam dalam ibadah dan bertasbih di seluruh waktu mereka.
Sehingga tidak ada waktu mereka yang terbuang sia-sia dan tidak ada
waktu mereka yang luput dari ketaatan. Tujuan mereka selalu lurus,
sebagaimana lurusnya amalan mereka. Dan mereka diberi kemampuan untuk
melakukan semua itu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6) [Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal.
862, Taisir Al-Karimir Rahman hal. 520-521]
Itulah sifat-sifat malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia. Dan
manusia, sekali lagi bukanlah malaikat. Pada diri manusia ada kelalaian
dan sifat lupa. Kadang semangat dalam menjalankan ketaatan, kadang pula
futur (lemah semangat). Kadang hatinya tersibukkan mengingat kematian
dan kampung akhirat, kadang pula ia sibuk mengurus dunianya. Begitulah
sifat manusia, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Dan orang yang
demikian keadaannya tidaklah bisa dicap munafik, sebagaimana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak cap seperti itu ketika diucapkan
oleh Hanzhalah radhiallahu ‘anhu.
Dengan penjelasan di atas, kita berharap dapat mengambil pelajaran bahwa
kita tidaklah dituntut untuk menjadi seorang yang ghuluw (berlebihan
melampaui batas). Sehingga karena tak ingin dilalaikan dengan kesibukan
rumah tangga, dengan suami dan anak, kita pun memilih hidup membujang
agar bisa sepenuhnya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau
jika kita sudah berumah tangga, lalu kita terapkan sikap ekstrim; tidak
boleh ada canda tawa dengan suami, tak boleh ada gurauan karena dianggap
sia-sia, harus diam berzikir. Tidak ada berkasih mesra karena membuang
waktu dan itu hanyalah perbuatan ahlud dunya, orang-orang yang cinta
dunia, sementara kita orientasinya akhirat. Tidak perlu mengajak
anak-anak bermain. Rumah tidak perlu terlalu diurusi dan ditata, masak
sekedarnya tidak usah enak-enak, tidak perlu ada perawatan tubuh dan
kecantikan, tidak perlu repot dengan dandanan dan penampilan di depan
suami, tidak mengapa pakai baju yang sudah sobek, semuanya sekedarnya…
Toh ini cuma kehidupan dunia, toh semua ini melalaikan dan buang waktu…
Benarkah? Tentunya tidak! Bila ada seorang istri yang melakukannya atau
berpikir seperti itu, maka benar-benar hal itu bersumber dari
kebodohannya.
Tapi kita katakan, urusilah rumah tanggamu dengan baik. Perhatikan suami
dan anak-anakmu. Usahakan untuk memberikan yang terbaik dan ternyaman
untuk mereka, baik dari sisi pelayanan, penyediaan makanan, penataan
rumah dan sebagainya sesuai dengan kemampuan yang ada dengan tiada
memberatkan. Kalau dikatakan hal itu melalaikan dari akhirat maka
jawabannya hadits Hanzhalah radhiallahu ‘anhu di atas.
Dan tengok pula rumah tangga nabawiyyah yang kerap kami singgung
kisahnya dalam rubrik ini. Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berumah tangga dan bagaimana istri-istri beliau, demikian pula
istri-istri para shahabat radhiallahu ‘anhum. Merekalah sebaik-baik
contoh.
Demikianlah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita semua. Amin!!!
Wallahul musta’an, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Karena saat itu Hanzhalah melewati Abu Bakr dalam keadaan Hanzhalah
menangis. (Sebagaimana disebutkan dalam riwayat At-Tirmidzi dalam
Sunannya no. 2514)
2 Karena kita harus memperbaiki penghidupan/mata pencaharian kita dan mengurusi mereka. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)
Dalam riwayat lain, Hanzhalah radhiallahu ‘anhu berkata mengeluhkan
keadaan dirinya: “Kemudian aku pulang ke rumah lalu tertawa ceria
bersama anak-anakku dan bermesraan dengan istriku.” (HR. Muslim no.
6901)
3 Dalam riwayat lain, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku juga melakukan seperti apa yang engkau sebutkan.”
4 Seakan-akan kami belum pernah mendengar sesuatu pun darimu. (Tuhfatul
Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqaiq wal Wara’, bab ke 59)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته اَلْحَمدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن وَ بِهِ نَسْتَعِيْن وَعَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَ الدِّيْن...
-
Al-Qur`an telah bertutur tentang dua wanita shalihah yang keimanannya telah menancap kokoh di relung kalbunya. Dialah Asiyah bintu Muzahim...
-
Pencak silat atau silat adalah suatu seni bela diri yang berasal dari Asia Tenggara . Seni bela diri ini secara luas dikenal di Ind...
-
Resensi Novel Ketika Cinta Bertasbih I.IDENTITAS BUKU a. Judul : Ketika Cinta Bertasbih b. Penulis : Habiburrahman El Shira...
-
My name is Ginanjar Cecep Kadupandak my address and I went to the man I idolized figure scaffolding is Jujun Junaedin, black hair oval fac...
-
MAJAPAHIT Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur , Indonesia , yang pernah berdiri dari ...
-
Naruto Naruto Uzumaki adalah tokoh utama cerita ini. Ia adalah seorang ninja dari desa Konoha, Salah satu desa militer terkuat di dun...
-
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum W arahmatullahi W abar o katuh. Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tet...
-
Softball adalah olahraga yang digemari, terutama oleh para pelajar dan mahasiswa. Biasanya, mereka menggunakan seragam sekolah yang ...
0 komentar:
Posting Komentar