KRITIS TERHADAP MEDIA MASSA
Di era informasi dan globalisasi seperti sekarang ini, kehadiran dan
peran media massa tidak bisa ditolak. Pada era ini, seolah-olah
informasi tak perlu lagi dicari, tapi ia datang layaknya banjir yang tak
bisa dihindari kedatangannya. Surat kabar, majalah, radio, film,
televisi, dan internet, semuanya menyuguhkan informasi yang berbeda-beda
dengan pasar yang berbeda-beda pula. Bahkan, Internet sekarang ini
bukan lagi sesuatu yang dianggap sekedar media dalam arti perantara yang
menghantarkan pesan dari satu pihak ke pihak lain. Jauh lebih dari itu,
internet adalah sebuah ruang ekspresi, perpustakaan, toko buku,
bioskop, televisi, tempat rekreasi, ruang komunitas, jejaring sosial dan
lain sebagainya.
Peran media massa amat besar dalam pembentukan opini, perubahan pola
pikir dan juga mempengaruhi perilaku individu dan masyarakat. Salah satu
contoh sederhana, ketika Seorang Wali Kota Surabaya diwawancarai dalam
salah satu stasiun televisi swasta dan ia menceritakan tentang realitas
yang dihadapinya cukup berat, ia menangis dan berencana akan mundur dari
posisi sebagai Wali Kota. Ternyata hasil wawancara tersebut mendapatkan
respons yang luar biasa dari para pendengar dan pemirsa stasiun
televisi. Berbagai dukungan untuk tidak mundur, bukan hanya datang dari
masyarakat Surabaya, tetapi juga dari berbagai kota lainnya di
Indonesia, bahkan dari presiden Republik Indonesia. Selanjutnya,
pemberitaan dan analisis berbagai media pun bermunculan tentang kejadian
yang menimpa Wali Kota Surabaya tersebut.
Terlepas dari pro dan kontra dari pemberitaan media massa yang ada. Hal
terpenting yang ingin disampaikan pada kesempatan ini bahwa betapa
dahsyatnya atau power full-nya peran media massa dalam kehidupan
individu dan masyarakat.
Menurut Mc Luhan “media merupakan perluasan dari alat indera manusia”.
Dengan melihat televisi, indera kita bisa menembus sampai ke Mekkah
ketika ribuan manusia merintih di kaki kabah. Melalui koran kita bisa
menikmati peristiwa-peristiwa dunia yang terjadi pada saat yang sama.
Telinga kita bisa memanjang seketika dengan bantuan kabel telepon atau
HP. Seorang mubaligh bisa menyampaikan nasehat-nasehat keagamaannya ke
seluruh penjuru tanah air secara serentak melalui media televisi dan
seluruh panca indera kita bisa bergerak mengikuti berbagai irama yang
ditayangkan melalui saluran dunia maya.
Meskipun media massa memiliki peran yang begitu signifikan bagi
kehidupan individu dan masyarakat, tetapi harus disadari juga bahwa
media massa juga memiliki pengaruh kuat untuk merusak individu dan
masyarakat. Banyak perilaku anak yang berbuat kasar dan berkata kotor
karena dipengaruhi oleh tontonan televisi yang kental dengan nuansa
kekerasan dan menggunakan kata-kata kasar. Banyak remaja yang MBA
(Married By Accident atau nikah karena hamil terlebih dahulu),
mabuk-mabukan, tawuran dan sebagainya, akibat dari pengaruh media massa
yang dibaca atau ditontonnya. Begitu juga, banyak masyarakat yang
terpecah belah karena hasutan atau isu-isu yang dikembangkan oleh media
massa. Malcom X, seorang tokoh agama dan aktivis Islam Amerika
menyatakan ”Jika engkau tidak hati-hati, koran-koran akan membuat engkau
membenci orang yang sedang ditindas, dan mencintai orang-orang yang
sedang menindas”.
Oleh karena itu, sikap kita terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh
media massa hendaknya dibangun sikap berhati-hati dalam menerima
pemberitaan, sebagaimana firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat ayat 6).
Selanjutnya, untuk menumbuhkan sikap kehati-hatian, ada beberapa langkah
yang mesti dilakukan oleh individu atau umat Islam yaitu: Pertama,
jadilah pembaca atau penonton yang aktif (active recipient). Mengingat
kehadiran media massa tidak bisa ditolak, maka pembaca atau penontonlah
yang perlu aktif untuk menyikapi kehadiran media massa. Pembaca atau
penonton yang menentukan, apakah media massa yang ada di hadapannya
perlu dibaca atau ditonton? Jika tidak berkenan, pembaca atau penonton
dapat memutar atau mengganti dengan media massa yang lain atau bisa juga
meninggalkannya.
Pada konteks inilah pembaca atau penonton dituntut untuk kritis terhadap
media massa yang hadir di tengah-tengah kita sekalian. Bisa jadi,
berita yang ditampilkan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri media
massa, pemilik media, untuk memperjuangkan ideologi yang dibangun oleh
media massa, ada pesanan tertentu dari penguasa atau pemilik modal atau
untuk memecah belah umat.
Kedua, pentingnya umat Islam menerapkan Islam sebagai ideologi. Alm. M.
Natsir menyebut “Islam sebagai ideologi”. Artinya umat Islam perlu
menjadikan Islam sebagai sistem perikehidupan atau sebagai pandangan
hidup. Dengan menerapkan Islam sebagai pandangan hidup, maka umat
sebagai pembaca atau penonton akan membentengi dirinya dari pengaruh
opini atau pemberitaan dari media massa. Umat Islam akan memakai
kacamata Islam ketika melihat realitas yang disajikan media massa.
Bagi umat yang sudah menjadikan Islam sebagai pandangan hidup, tak perlu
khawatir dengan wacana atau pemberitaan yang digelontorkan oleh media
massa sekuler sekalipun. Perang penguasaan wacana sesungguhnya, justru
terjadi pada umat Islam yang belum menerapkan Islam sebagai pandangan
hidup. Mereka yang menganggap Islam sebagai aspek ritual atau
spiritualitas semata, sehingga pandangan hidup mereka masih bisa
dipengaruhi oleh nilai-nilai lain, seperti sekularisme, kapitalisme,
humanisme atau liberalisasi agama. Mereka adalah massa mengambang yang
terombang-ambing dalam wacana tidak Islami. Mereka yang biasanya
menafsirkan berita dengan nalar dan pengetahuan yang terbatas mengenai
Islam.
Ketiga, kita perkuat terus sumber daya insani umat islam dengan cara
terus belajar ilmu pengetahuan, terutama teknologi informasi dan media
massa. Pendidikan jurnalistik perlu diberikan kepada para pelajar dan
mahasiswa muslim sejak usia muda. Dengan melatih mereka untuk membaca
dan menulis secara tekun, akan membawa mereka pada penguasaan wacana.
Kelak diharapkan akan lahir jurnalis-jurnalis yang mengusung Islam
sebagai pandangan hidup yang mampu memilah dan mengecek kebenaran sebuah
fakta dan melakukan verifikasi dengan landasan kejujuran. Firman Allah
"Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu sesungguhnya akupun berbuat
(pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kamu) yang akan
memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang
zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan”. (Q.S. al-An’am 135)
Keempat, Umat Islam perlu merebut media sekuler menjadi media yang
Islami baik dengan cara ikut berpatisipasi dalam mengisi ruang-ruang
media massa yang terbuka untuk siapa pun dan atau membangun
stasiun-stasiun dan industri-industri media Islam. Dengan cara demikian,
berita-berita yang diusung oleh media massa akan menampilkan
berita-berita yang memiliki karakter yang jelas dan dapat mendorong umat
lebih giat untuk mengisi pembangunan dan kehidupan yang penuh dengan
makna dan nilai-nilai kebaikan. Selain itu, berita yang ditampilkan akan
membangun citra bangsa yang positif, bangsa yang tidak korup, bangsa
yang memiliki etos kerja tinggi, bangsa yang terbaik dalam menjalankan
ajaran agama, dan bangsa yang ramah, toleran serta bangsa yang cinta
pada perdamaian dan keselamatan dunia.
Wallahu a’lam bi al-shawab
SHALAT DAN ETIKA SOSIAL
Peringatan isra mi’roj yang dilakukan oleh umat Islam pada setiap
tanggal 27 Rajab memiliki arti penting dalam perjalanan keberagamaan
seorang muslim. Demikian halnya dengan peringatan isra mi’roj yang
terjadi pada tahun 2014 ini yang jatuh pada hari selasa tanggal 27 Mei
2014. Dalam peringatan tersebut, paling tidak seorang muslim diingatkan
untuk senantiasa meningkatkan keimanannya kepada Allah SWT dan berupaya
untuk meningkatkan kualitas ibadah shalatnya.
Jika dinalar secara logika, peristiwa isra mi’raj yang dilakukan oleh
Rasulullah tentu amat sulit untuk diyakini. Rasulullah melakukan
perjalanan yang amat jauh dari masjid al-Haram (Mekkah) menuju ke masjid
al-Aqsha (Palestina) dan dilanjutkan ke sidrat al-muntaha yang waktunya
hanya dilakukan pada malam hari. Para Sahabat pun ada sebagian yang
tidak memercayai peristiwa yang berada di luar kebiasaan manusia yang
dikenal saat itu. Hanya para Sahabat yang memiliki iman teguh yang dapat
meyakini peristiwa luar biasa tersebut. Oleh karena itu, dalam
memperingati peristiwa isra mi’roj Rasulullah, keimanan seseorang kepada
Allah SWT perlu terus menerus ditingkatkan dan diwujudkan dalam bentuk
ibadah kepada-Nya.
Iman seseorang ibarat lampu pijar yang voltasenya ada yang rendah,
sedang dan tinggi. Jika voltasenya rendah, maka cahayanya akan redup dan
kurang menyinari lingkungan sekitarnya. Demikian juga, apabila iman
seseorang voltasenya rendah, maka keyakinannya kepada hal-hal yang
gaib---termasuk peristiwa isra mi’roj Nabi--- akan mengalami keraguan
dan bahkan tidak memercayainya. Tetapi sebaliknya, jika imannya kuat,
peristiwa apapun yang terjadi di alam semesta ini tentu akan menambah
keyakinannya kepada Allah SWT.
Iman merupakan sesuatu yang abstrak dan sulit untuk diketahui oleh orang
lain. Bisa jadi seseorang menyatakan dirinya sebagai orang yang
beriman, tetapi sikap dan perilakunya tidak mencerminkan keimanannya
kepada Allah SWT. Seperti yang dilakukan oleh orang Arab Badui yang
menyatakan diri beriman, tetapi perilakunya tidak mununjukkan keimanan
mereka kepada Allah SWT. Hal ini dikisahkan dalam al-Qur’an surat
al-Hujurat ayat 13 “orang-orang Arab Badui berkata “kami telah beriman”.
Katakanlah (kepada mereka), kamu belum beriman, tetapi katakanlah “kami
telah tunduk (Islam)”, karena iman belum masuk ke dalam hatimu...”
Untuk menguji keimanan seseorang kepada Allah SWT, maka Rasulullah
mendapatkan “oleh-oleh” dari peristiwa isra mi’roj berupa perintah untuk
melaksanakan shalat lima waktu. Shalat merupakan wujud atau bukti
seseorang beriman kepada Allah SWT. Shalat merupakan ibadah fisik dan
ruhani yang nyata dan bisa diamati secara langsung. Orang yang tidak
menjalankan shalat berarti orang yang masih diragukan keimanannya kepada
Allah SWT.
Di dalam perintah shalat terkandung banyak makna yang bisa dijadikan
pegangan hidup bagi seorang muslim. Secara intrinsik, shalat (ibadah)
mengandung arti mendekatkan diri kepada Allah SWT (QS. 9:99). Orang yang
rajin shalat, hati dan jiwa raganya dekat dengan Allah. Segala hal yang
menimpa dirinya baik suka maupun duka selalu dikaitkan dengan Allah.
Bahkan seorang hamba yang sedang shalat bisa menangis karena begitu
dekatnya ia dengan Allah SWT. Sedangkan secara ekstrinsik, shalat
mengandung arti pendidikan bagi individu atau kelompok (QS. 29:45).
Shalat mengajarkan seseorang atau kelompok untuk bisa menjadi disiplin,
tepat waktu, kepatuhan pada pemimpin, kebersamaan, dan lain sebagainya.
Pendidikan dari shalat yang penuh makna tersebut dalam realitasnya belum
banyak dilakukan oleh umat Islam. Shalat umumnya masih sebatas ritual
individu belaka dan makna shalat belum banyak diterjemahkan dalam sikap
dan perilaku sehari-hari di masyarakat. Menyempitnya makna ibadah shalat
kepada ibadah yang bersifat individual mengakibatkan munculnya akhlak
sosial yang belum bisa dibanggakan dari kebanyakan umat Islam, yang
menimbulkan pemisahan ibadah shalat dengan dimensi etika sosial.
Orang yang rajin shalat mestinya peduli dan ikut berpartisipasi dalam
memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan persoalan-persoalan
sosial yang ada di masyarakat. Masalah perburuhan, kemiskinan,
ketidakadilan gender, toleransi agama, lingkungan hidup, penegakan
hukum, kualitas pendidikan, dan moralitas bangsa merupakan
masalah-masalah besar yang membutuhkan perhatian dari seorang muslim
yang beriman kepada Allah dan melaksanakan shalat.
Rasulullah melakukan isro mi’raj bukan sebuah pendakian spiritual
(peningkatan iman) semata, tetapi lebih berorientasi kepada manusia di
bumi melalui shalat dan zikir. Shalat dan zikir merupakan sebuah
orientasi keilahian yang diterjemahkan dengan orientasi praksis untuk
menciptakan salam (perdamaian) di antara sesama manusia. Rasulullah
bukanlah seorang yang egois, beliau mi’roj dan bertemu dengan Allah,
kemudian beliau berdiam diri dan asyik menjalankan ibadah kepada Allah
di sidrat al-muntaha. Justru sebaliknya, Rasulullah setelah bertemu
Allah dan menerima perintah shalat, beliau turun ke bumi untuk menjalani
kehidupan dunia dan ikut terlibat dalam proses memecahkan
persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi pada zaman Rasulullah.
Oleh karena itu, dalam memperingati isro mi’roj Nabi Muhammad tahun ini,
hal terpenting yang perlu dibenahi di kalangan umat Islam, bagaimana
kita bisa menyeimbangkan antara ibadah shalat dan perilaku sosial kita
di masyarakat. Tunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang maju,
toleran, progresif, berkualitas, dan berilmu karena mengejawantahkan
nilai-nilai shalat.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Wednesday, 26 February 2014
MEMBENTENGI UMAT DARI PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA
Di era modern ini, umat Islam dihadapkan pada berbagai problem kehidupan
yang semakin kompleks. Salah satu diantaranya berkaitan dengan krisis
pemahaman terhadap ajaran Islam dan praktek keberagamaan yang cenderung
bersifat simbolis dan retoris.
Dari sisi pemahaman, adanya kecenderungan paham radikal dan
fundamentalis telah menghiasi wacana di berbagai media, buku, majalah
dan sebagainya. Di satu sisi, Islam dipahami begitu canggih
(sophisticated) dan filosofis sehingga semua ajaran serba
dirasionalkan. Di sisi lain, ada kecenderungan pemahaman yang rigid
(kaku), a historis (tidak mengenal sejarah) dan terkadang bersifat
militan serta menyalahkan pemahaman-pemahaman di luar kelompok mereka.
Demikian juga, dalam praktek keberagamaan, nilai-nilai ajaran Islam
hanya menyentuh pada wilayah-wilayah yang bersifat ubudiyah saja.
Keshalehan hanya ada di masjid, majelis taklim, dan tempat-tempat ibadah
lain, sementara di pasar, di gedung dewan, di pemerintahan, di kantor,
di sekolah dan di tempat-tempat publik, nilai-nilai ajaran Islam
diabaikan dan ditinggalkan.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi di Indonesia? Memang tidak ada faktor
tunggal yang bisa memberikan kejelasan penyebabnya. Bisa jadi karena
faktor psikologis, lingkungan, ekonomi, sosial politik dan sebagainya.
Dari berbagai faktor tersebut, menurut penulis, ada dua faktor dominan,
yaitu faktor sempitnya pemahaman yang dimiliki oleh seorang muslim
tentang ajaran agamanya dan kurang istiqomah dalam mempraktekkan ajaran
agamanya.
Pemahaman merupakan proses mental yang ada pada diri seseorang. Proses
ini diawali dari informasi atau pengetahuan yang diterima seseorang dari
berbagai sumber, baik melalui proses pengajaran yang dilakukan oleh
guru/ustadz atau dengan cara membaca buku, kitab, majalah atau lainnya.
Jika informasi atau pengetahuan yang didapat bersifat radikal atau
fundamentalis, maka akan berpengaruh terhadap pemahaman keberagamaan
seseorang.
Kondisi yang terjadi pada masa sekarang ini, banyak dari pemuda atau
umat Islam yang memanfaatkan media online (internet) untuk mendapatkan
pengetahuan agama. Kyai “google” atau “yahoo” dijadikan sebagai rujukan
untuk mencari berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan agama atau
tentang ajaran agama. Semuanya didapatkan dengan mudah, tanpa harus
berpikir dan susah-susah membaca buku. Terkadang dengan seenaknya mereka
meng-copy paste, mengutip dan menjadi rujukan untuk bertindak. Mereka
telan mentah-mentah semua informasi yang berasal dari internet, tanpa
melakukan konfirmasi dengan rujukan lain atau dengan Ustadz/Kyai secara
langsung. Hal yang menyedihkan, ternayata informasi yang ada di dunia
maya banyak didominasi oleh paham-paham keagamaan yang radikal dan
fundamental.
Oleh karena itu, tugas berat umat Islam adalah bagaimana menampilkan
wacana Islam moderat di media online dan memperbanyak majelis taklim
untuk membentengi generasi muda dan umat Islam dari pemahaman-pemahaman
yang keliru. Selain itu, tradisi membaca buku atau kitab hendaknya terus
dikembangkan dan dibudayakan di kalangan pemuda dan umat Islam. Dengan
banyak membaca, seseorang akan memiliki pengetahuan yang kaya, bisa
mengkritisi berbagai informasi yang didapatnya, bersikap bijak dan pada
akhirnya dapat memiliki pemahaman agama yang mendalam.
Selanjutnya, untuk membentengi umat Islam dari penyimpangan ajaran
agama, Allah telah menyatakan agar umat yang telah memeluk Islam perlu
istiqomah dalam meyakini dan melaksanakan ajaran Islam. Sebagaimana
firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami
ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah Maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” (QS.
Al-Ahqaf ayat 13)
Istiqomah artinya teguh hati, taat asas dan konsisten. Teguh pendirian
dalam tauhid artinya istiqomah tidak hanya menyangkut ibadah murni,
tetapi juga menyangkut hal keduniawian. Bagaimana dengan keduniaan,
apakah kita hanya statis atau jalan di tempat, padahal ciri kemodernan
selalu berubah, bahkan perubahan bersifat institusional/terlembagakan.
Tidak, kita tidak tinggal diam, tetapi harus proaktif untuk mengambil
peran terdepan dalam perubahan di masyarakat. Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri (QS. 13: 11)
Istiqomah mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandegan,
melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Seseorang
hidup dinamis, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk sampai
akhirnya kembali kepada Tuhan. Semua aktivitas keseharian yang dilakukan
oleh seorang muslim hendaknya bertitik tolak dari keyakinan agamanya
dan terus konsisten menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan
sehari-hari. Allah berjanji akan memberikan balasan dan rizki yang
banyak manakala kita konsisten berada pada jalan Allah “dan bahwasanya:
Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam),
benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki
yang banyak)”. (QS. Al-Jinn Ayat 16).
Untuk bisa menjaga ke-istiqomah-an, maka upaya yang bisa dilakukan
adalah: Pertama, pada diri seorang muslim hendaknya dihidupkan terus
kesadaran tentang makna dan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya,
yakni mencari ridla Allah swt. Langkah konkritnya, semua aktivitas
manusia baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifatullah diarahkan
semata-mata karena Allah swt. Dengan cara tersebut, hidup ini akan
diisi dengan hal-hal yang bermanfaat baik untuk dirinya maupun untuk
orang lain. Kedua, sering-seringlah untuk berkumpul dan bergaul dengan
orang-orang yang shaleh. Dengan banyak berinteraksi dengan orang shaleh
akan termotivasi untuk melakukan ajaran-ajaran agama dan jika ada
hal-hal yang menyimpang berkaitan dengan pemahaman bisa didiskusikan
bersama. Ketiga, senantiasa istigfar, manakala ada proses penyimpangan
dari ketaatan kita kepada Allah. Tidak ada manusia di dunia ini yang
suci dari kesalahan dan dosa, karenanya dengan banyak beristigfar akan
mendekatkan diri kita kepada Allah swt dan senantiasa mawas diri dalam
melakukan berbagai tindakan.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Tuesday, 12 June 2012
DAKWAH MELALUI FILM DAN SINETRON: SEBUAH ALTERNATIF
Dengan ilmu hidup menjadi terarah,
Dengan seni hidup
menjadi indah dan,
Dengan agama hidup
menjadi bermakna
A. Pendahuluan
Dalam pertemuan warga di Rukun Tetangga, penulis mendapatkan pepatah
dari seorang purnawirawan ABRI seperti yang tertera di atas. Pepatah itu
Beliau ungkapkan dalam rangka mengajak para warga untuk mengikuti
kegiatan seni suara yang Beliau adakan setiap malam sabtu. Tujuan
kegiatan itu sederhana saja yakni untuk mengisi hiburan dan kegiatan
warga.
Bagi penulis, pepatah tersebut memberikan inspirasi untuk melihat
realitas yang ada dan sekaligus menjadi titik tolak dalam tulisan ini.
Betapa pepatah yang diungkapkan tersebut begitu mendalam apabila
direnungi dan dilaksanakan. Fenomena yang ada di masyarakat ternyata
antara ilmu, seni dan agama berjalan di rel masing-masing. Ilmu
berkembang di dunianya tanpa mempertautkan dengan seni dan agama. Seni
juga berjalan dengan melodinya sendiri tanpa memperhatikan nilai agama
dan perkembangan ilmu pengetahuan. Demikian pula agama berjalan dengan
alurnya tanpa mengindahkan nilai seni dan ilmu pengetahuan.
Dengan keterbelahan ini, dalam realitas kita menyaksikan ada ATM untuk
kondom, Bank sperma, kloning, perampokan Bank melalui teknologi
komunikasi, foto telanjang demi keindahan, karikatur yang menelanjangi
agama orang lain demi ekspresi kebebasan, banyaknya tato dan perhiasan
yang melekat di tubuh manusia yang dianggap tabu demi keindahan, sikap
para pemeluk agama yang menghancurkan tempat tinggal dan tempat ibadah
sesamanya, bom bunuh diri demi agama, perang atas nama Tuhan, dan
segudang realitas yang dapat kita saksikan setiap hari, bahkan setiap
menit melalui berbagai media.
Melihat fenomena-fenomena yang ada di masyarakat, terlalu simplistis
apabila disimpulkan dari satu penyebab saja, yakni adanya keterbelahan
antara dunia ilmu pengetahuan, seni, dan agama. Banyak faktor yang
mempengaruhi dan melatarbelakangi lahirnya berbagai fenomena yang ada di
masyarakat. Paling tidak, penulis ingin memberikan satu nuansa baru
bahwa dari sekian benang kusut yang ada di masyarakat, ada sedikit
benang yang bisa diluruskan dan dapat memberikan nuansa yang lebih
mengembirakan. Mengingat ketiga bidang tersebut menjadi substansi bagi
kehidupan manusia. Mungkinkah ketiganya bisa berjalan secara beriringan
dan berkelindan serta bagaimana hal tersebut bisa dibangun sehingga akan
melahirkan kedamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia?
Di kalangan umat Islam kajian tentang kesenian relatif sedikit. Kalau
pun ada, kajian kesenian yang dilakukan oleh para Ulama lebih menekankan
pada aspek fiqih dan teologis. Seni dilihat dari sudut pandang
hitam-putih, apakah boleh atau tidak boleh (haram). Demikian juga secara
teologis, seni dianggap sebagai sekuler sehingga menjauhkan manusia
dari Tuhan. Dengan anggapan ini seni sulit berkembang di kalangan umat
Islam. Karena umat Islam terbebani oleh justifikasi fiqih dan teologi
yang menjadi pandangan hidupnya. Implikasinya, umat Islam tidak bisa
berkreasi dan berinovasi lebih jauh dalam bidang seni. Padahal seni
sangat membutuhkan ekspresi dan kreativitas individu.
Berkenaan dengan tulisan ini, penulis ingin menjelajahi lebih jauh
bagaimana pandangan Islam tentang dakwah, seni dan dakwah alternatif di
masa depan. Tulisan ini akan dirangkai melalui paradigma besar terlebih
dahulu agar dapat dioperasionalkan dalam tataran yang lebih strategis
dan teknis.
B. Dakwah Sebagai Aktivitas, Seni, dan Ilmu.
Menurut Ismail Raji al-Faruqi, tidak ada agama yang dapat menghindari
dakwah, jika ia memiliki kekuatan intelektual. Menolak dakwah berarti
menolak kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan orang lain terhadap apa
yang diklaim sebagai kebenaran agama. Tidak menuntut persetujuan berarti
tidak serius dengan klaim itu atau berarti menyatakan klaim itu
subyektif, partikularis atau relatif secara mutlak, karena itu tidak
berlaku bagi orang lain selain pembuat klaim itu.
Berdasarkan pendapat di atas berarti dakwah merupakan sebuah keharusan.
Apalagi setelah Rasulullah wafat, kewajiban dakwah menjadi sebuah
keniscayaan bagi umat Islam untuk terus menerus mensyiarkan agama Islam.
Kewajiban ini sudah menjadi ketentuan (doktrin) Ilahiah yang dinyatakan
secara langsung di dalam al-Qur’an seperti Q.S. al-Imran ayat 104,
an-Nahl ayat 125, dan surat Yusuf ayat 108.
Konsekuensi logis dari kewajiban tersebut, umat Islam perlu
mengembangkan kreasi dan inovasi dalam melakukan aktivitas dakwah.
Dakwah tidak hanya bualan atau permainan kata-kata saja, tetapi
membutuhkan penalaran kritis sesuai dengan tingkat kemampuan obyek
dakwah. Dakwah selalu terbuka terhadap bukti baru, alternatif baru,
membangun bentuk baru berulang-ulang, memperhatikan temuan baru ilmu
pengetahuan, dan memperhatikan kebutuhan baru situasi manusia. Dakwah
juga tidak boleh memaksakan kehendak kepada jama’ahnya. Obyek dakwah
harus merasa bebas sama sekali dari ancaman dan harus benar-benar yakin
bahwa kebenaran yang diperolehnya merupakan hasil penilaiannya sendiri.
Karenanya semua manusia boleh menilai dan mengapresiasi dakwah, sehingga
kebenaran dan rahmatan lilalamin benar-benar tercipta.
Dalam catatan sejarah, sejak Nabi Nuh memiliki kesadaran untuk mengajak
kaumnya mengikuti aturan Tuhan, maka pada saat itu telah berlangsung
aktivitas dakwah. Nabi Nuh mengajarkan tentang amar ma’ruf nahi munkar
kepada para pengikutnya. Demikian pula Nabi-Nabi selanjutnya memberikan
misi yang sama menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka tunduk
dan patuh kepada sang Khalik Allah SWT.
Aktivitas dakwah semakin terorganisir dengan baik dan menjadi dakwah
Islam setelah Rasulullah menerima wahyu dan menyebarkan agama Islam
kepada umatnya. Pada saat itu dakwah disebarkan dengan berbagai cara
baik dengan lisan, tulisan, dan perbuatan. Sayangnya generasi setelah
Rasulullah tidak menindaklanjuti dakwah menjadi kajian keilmuan.
Kalaupun ada, dakwah baru sebatas seni penyampaian (retorika).
Dalam era globalisasi dan informasi ini, tuntutan terhadap
profesionalisme semakin menguat. Karenanya dakwah perlu menyiapkan
kader-kader profesional agar dakwah dapat diterima oleh masyarakat.
Menyiapkan tenaga profesional memerlukan keilmuan sebagai landasan dan
etika dalam tataran teknisnya. Untuk membuat film dakwah, majalah atau
koran dakwah, konselor di lembaga dan profesi dakwah lainnya tentu harus
ada tenaga profesional. Disinilah arti penting adanya perguruan tinggi
atau lembaga-lembaga dakwah yang menyiapkan tenaga-tenaga profesional.
Kelemahan yang ada selama ini, umat Islam belum memiliki tenaga-tenaga
da’i profesional. Kalau pun ada, da’i yang dimaksud lebih berorientasi
pada kemampuan retorika (muballigh). Kondisi demikian bisa dimaklumi
mengingat dalam perjalanan panjang sejarah Islam, dakwah banyak
disebarkan melalui ceramah. Bahkan, setiap minggu ada kewajiban yang
tidak bisa ditawar-tawar bahwa umat Islam melakukan aksi ceramah
(khutbah). Tidak heran kemudian masyarakat menangkap bahwa perlu ada
kader-kader yang disiapkan untuk pandai merayu dan menarik penonton.
Maka diadakanlah lomba da’i yang ditentukan oleh selera pasar seperti
halnya lomba Indonesian Idol, lomba dangdut atau akademi fantasi. Lomba
ini tidak ditentukan pada sejauhmana kedalaman da’i dalam menguasai
ajaran Islam. Unsur yang terpenting bagaimana da’i bisa membuat orang
tertawa dan mampu memikat penonton.
Belum lagi umat Islam dihadapkan pada muballigh-muballigh yang muatan
dakwahnya tidak jauh dari surga-neraka. Umat Islam tidak mendapatkan
muatan bagaimana berdemokrasi, bagaimana menegakkan HAM, bagaimana
berpolitik yang santun, bagaimana merekayasa masyarakat, bagaimana
merespons zaman yang terus berubah dan sebagainya. Muballigh cenderung
normatif dalam kajian-kajiannya. Bahkan, terkadang ada sebagian
muballigh yang cenderung reaktif dan provokatif. Begitu bencana tsunami
menimpa aceh, di berbagai mimbar muballigh seakan-akan “menghukum rakyat
aceh” bahwa kejadian itu pantas untuk rakyat aceh dengan berbagai
interpretasinya. Begitu juga, akhir-akhir ini ada sebagian muballigh
yang mengutuk Ahmadiyah dan karikatur yang dimuat di majalah Jyllands
Posten Denmark, sehingga kekerasan-kekerasan di masyarakat tidak bisa
dielakkan.
Saya tidak bermaksud untuk menafikan peran muballigh dan mengecilkan
semangatnya. Sebagai seorang yang profesional mestinya muballigh bisa
bersikap lebih bijak dengan tidak menjadi Tuhan, melainkan berada pada
tingkat kemanusiaannya. Muballigh juga bisa belajar dan mengkaji
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih
sehingga bisa memberikan muatan Islam yang lebih compatible dengan
perkembangan zaman.
Di samping itu, perlu diciptakan da’i-da’i profesional yang memiliki
keahlian di bidangnya. Dengan cara itu dakwah bisa tampil dalam berbagai
varian dan lini kehidupan, sehingga dakwah sebagai pengemban misi Islam
bisa tercapai. Dakwah bisa dilakukan dengan cara-cara damai dan
usaha-usaha yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sekarang masyarakat butuh
makan, pengetahuan, ketrampilan dan suasana yang harmonis. Dakwah akan
ditinggalkan masyarakat apabila dakwah tidak beranjak dari cara-cara
normatif yang selama ini dipakai.
Selain dakwah membutuhkan tenaga profesional, dakwah juga membutuhkan
wahana atau situasi yang memungkinkan dakwah bisa berkembang dengan
baik. Dalam tataran realitas dakwah belum dijadikan sebagai bagian dari
sistem kehidupan bermasyarakat. Dakwah masih diposisikan secara marginal
untuk urusan-urusan akhirat. Seorang da’i hanya diposisikan sebagai
tukang do’a, pemimpin tahlilan/yasinan, pengusir roh jahat, guru ngaji,
dan pemimpin shalat. Keberhasilan dan kegagalam masyarakat atau bangsa
seringkali hanya diukur dari sisi ekonomi, politik, pendidikan, hukum,
budaya dan ideologi. Dakwah tidak pernah diperhitungkan sebagai bagian
yang bisa menyumbang atau merusak tatanan masyarakat.
C. Seni Dalam Perspektif Islam.
Pada bagian awal penulis telah menyinggung bahwa kajian seni jarang
diminati dan digeluti oleh umat Islam. Sewaktu penulis kuliah program
pascasarjana di IAIN Jakarta, penulis sempat terkaget dan heran ada mata
kuliah pilihan yang namanya kesenian Islam. Dalam benak penulis ada
pertanyaan, apa ada yang namanya seni Islam dan bagaimana wujud atau
model kesenian islam itu? Pertanyaan ini muncul bisa dijadikan karena
ada pandangan yang berkembang selama ini di masyarakat dan adanya
praktek-praktek kesenian yang membentuk image penulis pada saat itu
bahwa seni itu sekuler dan jauh dari nilai-nilai Islam. Bisa juga
pandangan ini muncul karena kajian kesenian selama ini berkutat pada
kajian fiqih dan teologi yang memunculkan wacana boleh dan tidak boleh
(haram) kesenian tersebut.
Salah satu contoh buku berjudul “al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an
al-Munkar” yang ditulis oleh Abi Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun
al-Khilal yang hidup pada tahun 311 H dan ditahqiq oleh Abd al-Qadir
Ahmad ‘Atha, diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, Beirut, 1986,
membahas tinjauan hukum berkaitan dengan nyanyian, seruling, qasidah,
not-not musik, dan syair. Contohnya: dimakruhkan mendengar qasidah
(Akhbarana Ismail bin Ishak al-Tsaqafi Anna Aba Abd Allah suila ‘an
isma’i al-qashaid faqaala: akrihhu) dan bid’ah mendengarkan dan membaca
not-not musik (wa anna Abuu Bakr al-Marwaji qaala: suila Abu ‘Abd Allah
‘an al-qiraah bi-alhan faqaala: bid’ah, la yusma’).
Sebaliknya, ketika penulis membaca buku Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya
al-Faruqi tentang Atlas Budaya Islam dan buku karya Sayyed Husein Nasr,
Islamic Art and Spirituality ternyata seni Islam bersumber dari
al-Qur’an dan al-Qur’an digambarkan sebagai karya seni pertama dalam
Islam. Lebih jauh al-Faruqi menjelaskan bahwa seni Islam dilihat
sebagai ekspresi Qur’an dalam warna, garis, gerak, bentuk, dan suara.
Ada tiga alasan: Pertama, seni Islam mempunyai tujuan yang sama dengan
tujuan al-Qur’an, mengajar dan memperkuat persepsi tentang transendensi
Tuhan dalam diri manusia. Kedua, al-Qur’an memberikan model pertama dan
utama bagi kreativitas dan produksi estetis. Ketiga, al-Qur’an
memberikan kepada peradaban Islam ideologi yang diekspresikan di dalam
seninya, al-Qur’an juga memberikan model kandungan dan bentuk artistik
yang pertama dan terpenting, serta al-Qur’an memberikan material
terpenting bagi ikonografi seni Islam.
Bertitik tolak dari pandangan di atas, seni sebaiknya tidak dipandang
secara ideologis (fiqih oriented). Karena jawaban halal, haram, dan
mubah sekalipun, tetap saja industri hiburan yang memanfaatkan karya dan
kreatifitas seni akan tetap berlalu. Jawaban keagamaan terhadap seni
sama sekali tidak akan mengubah produksi dan kreatifitas karya seni.
Untuk itulah, penulis sepakat dengan pendapat M. Amin Abdullah bahwa
seni perlu didekati dengan pendekatan keilmuan. Sekarang ini, hampir
semua karya seni telah diproduksi dengan menggunakan teknologi canggih,
yang semuanya dimungkinkan juga karena aktivitas keilmuan itu sendiri.
Dengan sudut pandang keilmuan memungkinkan umat Islam dapat berkreasi
lebih luas di bidang seni dan lebih selektif dalam memanfaatkan seni
bagi kehidupan keberagamaan.
Setelah memahami kedudukan seni, sudah seharusnya umat Islam membangun
kesadaran akan perannya dalam membangun dan mengembangkan kreasi di
bidang seni. Tanpa kesadaran akan peran, sebuah visi akan menjadi
angan-angan. Tanpa kesadaran akan peran, sebuah strategi hanya akan
menciptakan peran dan sebuah program yang baik akan menjadi omong
kosong. Oleh karena itu, seni dapat dimanfaatkan dalam kegiatan-kegiatan
dakwah.
Namun perlu dicatat bahwa seni jangan hanya dianggap sebagai alat
dakwah. Jadikan seni sebagai sebuah ekspresi seseorang yang bersifat
universal artinya jika pelaku seni adalah umat Islam, maka seni yang
dilakukan merupakan cerminan dari ekspresi seorang muslim, yakni seni
yang bernuansa Islam. Dengan cara seperti ini akan memberikan peluang
besar bagi uamt Islam untuk mengembangkan kreatifitas di bidang seni.
Jika seni hanya dijadikan alat untuk perjuangan dakwah, penulis khawatir
nantinya nuansa dakwahnya lebih kental dibandingkan dengan seninya,
akhirnya orang menjadi tidak tertarik untuk melihatnya. Kemungkinan
lain, si pelaku seni hanya bisa berakting demi seni dan menarik orang
untuk mengikuti pesan dakwahnya, sementara seni hanya sekedar alat,
tentulah kalau tujuannya sudah tercapai alatnya boleh ditinggalkan.
Benar apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo, belum pernah ia mendengar ada
orang masuk Islam setelah membaca puisi Sutardji Calzoum Bachri, atau
menonton lukisan Amri Yahya atau melihat film Rhoma Irama, atau
menyaksikan koreografi Huriah Adam, atau mendengar lagu Sam Bimbo.
Untuk itulah, Kuntowijoyo mengatakan ada tiga fungsi seni yaitu:
Pertama, seni dapat berfungsi sebagai ibadah, tazkiyah, tasbih, shadaqah
dan sebagainya bagi pencipta dan penikmatnya. Kedua, seni dapat
dijadikan identitas kelompok. Ketiga, seni dapat berarti syiar lambang
kejayaan. Dengan tiga fungsi tersebut, seni Islam akan lahir dari para
pengikutnya dan Islam akan ditampilkan dengan sejuk dan damai manakala
dengan menggunakan seni karena seni tidak memaksa orang untuk menonton
atau membacanya.
D. Dakwah di Televisi
Kehadiran televisi bagi masyarakat industri bagaikan “agama baru”.
Betapa tidak, televisi telah menggeser agama-agama konvensional.
Khotbahnya didengar dan disaksikan oleh jamaah yang lebih besar dari
jemaah agama apapun. Rumah ibadahnya tersebar di seluruh pelosok bumi,
ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan dan dapat menggetarkan
hati serta mempengaruhi bawah sadar manusia. Kehadiran televisi juga
telah mengambil sebagian besar waktu manusia untuk menonton televisi.
Menurut Broadcasting Yearbook (1985) rumah-rumah di Amerika Serikat, 25 %
menonton TV di waktu pagi, 30 % di waktu sore, dan 63 % di waktu malam
(jam 8-11), dan hampir ¾ atau 84 % dari mereka adalah menonton televisi.
Selain kehadiran televisi yang luar biasa dahsyatnya, televisi juga
memberikan pengaruh sosial, politik, ekonomi dan budaya. Secara sosial,
televisi mempengaruhi efek psikologis dari para penonton, terutama
pengaruh kekerasan dan hubungan antar jenis. Secara politik, televisi
mempengaruhi struktur politik, opini publik, dan kultur politik. Secara
ekonomi, televisi dapat mempengaruhi pola konsumsi individu/masyarakat
dan harga-harga di pasar. Terakhir, secara budaya televisi berpengaruh
terhadap perkembangan budaya di berbagai negara.
Mengingat dampak televisi yang luar biasa bagi masyarakat, maka
kegiatan-kegiatan dakwah pada era sekarang perlu diarahkan kepada
pemanfaatan media elektronik, khususnya televisi. Dalam prosesnya umat
Islam jangan hanya terjebak pada kegiatan-kegiatan dakwah yang selama
ini berkembang di masyarakat, dakwah dengan menggunakan model-model
ceramah. Umat Islam perlu menciptakan kreasi dan model baru dalam
berdakwah di televisi.
Secara garis besar, program di televisi dibagi menjadi dua bagian,
yaitu: Program-program fiksi dan reality programs. Program fiksi dapat
berupa film-film cartoon atau sitcom (film atau sinetron yang
menampilkan kehidupan keluarga dengan menampilkan tokoh-tokoh fiktif).
Sementara program realitas dapat berupa berita-berita, dokumen-dokumen
(seperti acara ABRI, keindahan alam, kreasi kerajinan dan sebagainya),
memasak, olah raga, dan acara hiburan (musik) secara live.
Umat Islam dapat mengisi program-program televisi yang fiksi. Saat ini
program-program fiksi lebih banyak menampilkan kekerasan-kekerasan.
Anak-anak kita setiap hari dalam beberapa jam ditampilkan film-film
cartoon yang menampilkan kekerasan. Dalam suatu laporan dari Pusat
Penelitian Anak bahwa program-program televisi untuk orang dewasa jauh
lebih sedikit kekerasannya dibandingkan dengan program komersial untuk
anak. Ada kurang lebih 20 sampau 25 aksi kekerasan perjam diberikan
kepada anak melalui cartoon, sementara 3 sampai 5 aksi kekerasan selama
perjam diberikan kepada orang dewasa. Belum lagi ditambah dengan
sinetron-sinetron atau film-film keluarga yang menampilkan
kekerasan-kekerasan pada anak seperti sinetron ratapan anak tiri, si
jamin dan si joan, joshua oh joshua, tangisan anak tiri, dan sebagainya.
Demikian juga, sinetron/film remaja yang banyak menampilkan aksi-aksi
kekerasan yang ditayangkan pada jam-jam tayang dimana anak-anak sulit
untuk menghindar dan tidak mau beranjak dari hadapan televisi, seperti
kodrat, putri cahaya, pinokio, bawang putih-bawang merah, anakmu bukan
anakku, maling kundang, dan banyak lagi sinetron remaja yang sedang
digandrungi seluruh station televisi.
Kekerasan-kekerasan yang ditampilkan oleh televisi itu sangat
berpengaruh terhadap perilaku anak-anak. Televisi akan membentuk pikiran
anak-anak, terutama imagenya tentang kekerasan. Selain itu, televisi
juga mampu mendistorsi jalan pikiran anak-anak tentang realitas
kehidupan sehingga anak-anak mudah frustasi, kurang bersahabat, dan
lebih agresif. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, diantaranya:
pertama, sebelum usia tujuh tahun, anak tidak mampu menghubungkan cerita
dari awal hingga akhir atau tidak memahami alur (plot) cerita. Kedua,
anak lebih mengingat aksi fisiknya dibandingkan dengan
percakapan-percakapan yang ada. Ketiga, sebelum usia lima tahun anak
belum mampu membedkan antara hayalan dengan realita, akibatnya anak
mudah sekali untuk berperilaku kekerasan.
Memang harus diakui juga bahwa pada saat ini di beberapa station
televisi sedang maraknya sinetron-sinetron religius. Keberadaan sinetron
ini, paling tidak, dapat meramaikan syiar Islam dan sekaligus dapat
meminimalisir adanya adegan-adegan kekerasan di televisi. Kita sebagai
umat Islam semestinya bersyukur dan berterima kasih kepada para
pengelola station televisi dan rumah produksi (production house) beserta
para aktor/aktris yang terlibat dalam sinetron-sinetron religius.
Meskipun demikian, ada beberapa hal yang menurut penulis perlu
diperbaiki dan dikembangkan di masa depan. Pertama, sinetron-sinetron
yang ada pada umumnya masih berkutat pada tema-tema penebalan iman atau
penghukuman Allah atas pendosa. Sayangnya, penebalan iman yang
disampaikan hanya dilihat dengan kacamata hitam putih. Si pendosa
mendapatkan hukuman di dunia ini, biasanya menjelang kematian atau di
tempat pemakaman. Hukuman yang diberikan seakan-akan benar terjadi,
padahal dalam realitas bisa jadi hal tersebut sulit ditemukan
keberadaannya. Apakah benar itu sebuah hukuman Tuhan ataukah itu hanya
gejala alamiah yang disebabkan oleh penyakit yang diderita oleh
makhluknya. Kejadian yang belum jelas dasarnya kemudian dijustifikasi
oleh seorang Ustadz tentang kebenaran cerita tersebut berdasarkan
kutipan ayat atau hadits. Akibatnya penonton diarahkan pada pemahaman
keagamaan yang dangkal dan akal yang diberikan Tuhan tidak difungsikan
secara kritis dan analitis.
Kedua, ada sebagian sinetron yang bersifat sinkretis (penggabungan unsur
mistik dengan unsur agama), terkadang unsur mistiknya lebih kuat.
Sinetron semacam ini sulit untuk dikatakan bisa menebakan iman
seseorang, justru dapat membawa seseorang kepada jurang kemusyrikan.
Banyak cerita-cerita aneh yang sulit diterima secara logika atau nalar
kritis seorang manusia. Dalam ajaran Islam, aktivitas-aktivitas yang
berbau mistik (magic) dilarang dalam Islam, karena hal tersebut dapat
menimbulkan kemusyrikan.
Ketiga, terkadang penonton televisi dipamerkan dengan akting dari para
aktor/aktris sinetron religius yang begitu bagus keislamannya. Tetapi di
tempat yang sama penonton juga dipamerkan oleh aktor/aktris sinetron
religius dengan perilaku yang justru bersebrangan dengan apa yang
dimainkan. Dalam ungkapan lain, si aktor/aktris dalam sinetron religius
bisa jadi Ustadz, tetapi di luar sinetron bisa jadi “penjahat” atau bisa
mengotori ajaran agama itu sendiri. Jadi masih banyak aktris/aktor yang
hanya memenuhi tuntutan pasar atau rating saja. Mereka belum menjadikan
apa yang diperankannya itu sebagai ekspresi keimanannya sebagai seorang
muslim dalam mengembangkan seni.
Bertitik tolak dari urain di atas, peluang besar menantang kita sebagai
umat Islam untuk mengisi kekosongan-kekosongan atau kelemahan-kelemahan
yang ada. Film-film fiksi (cartoon) anak-anak yang membawa nuansa sejuk,
penuh pendidikan dan memiliki nilai-nilai keagamaan menjadi lahan empuk
untuk dikembangkan. Begitu juga, film-film/sinetron-sinetron keluarga
yang bertitik tolak dari realitas dan mampu membangkitkan semangat untuk
berusaha keras serta jauh dari aksi-aksi kekerasan.
Berkaitan dengan sinetron religius, masih banyak tema-tema yang bisa
diangkat ke permukaan dan relevan dengan realitas umat Islam. Kehidupan
sosial keagamaan remaja, seorang muslim taat yang sukses berkarir dari
bawah, kehidupan keberagamaan masyarakat pedesaan yang unik dan
bersahaja, santri yang sukses dalam berwiraswasta, dan sebagainya.
Angkatlah tema-tema yang bisa memotivasi dan menjadi contoh bagi umat
Islam untuk menjadi maju dalam kehidupan dunia dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai keislaman dan buatlah alur cerita yang tidak
begitu kental dengan nuansa dakwahnya. Pada prinsipnya nilai-nilai Islam
menjadi warna dalam alur cerita di dalam sinetron. Itulah yang penulis
maksudkan bahwa seni tidak bisa dilepaskan dengan dakwah. Dalam seni
terpancar nilai-nilai Islam sehingga orang terpanggil untuk mengikuti.
Demikian juga, dakwah yang sejuk dan tidak memaksa merupakan cerminan
rasa estetika (seni) yang ada pada diri da’i yang bisa disalurkan
melalui media atau secara langsung.
Untuk terciptanya keinginan tersebut, upaya-upaya yang bisa dilakukan
adalah: Pertama, merubah paradigma dakwah di masyarakat dengan cara
da’i/lembaga dakwah/Perguruan Tinggi menampilkan atau mensosialisasikan
aktivitas-aktivitas dakwah secara variatif sehingga pemahaman umat
tentang dakwah semakin terbuka. Kedua, mengajak dan memberikan pemahaman
keagamaan kepada para aktor/aktris seniman bahwa mereka adalah bagian
dari umat Islam yang sedang melakukan dakwah kepada para
penonton/pembacanya. Karenanya ekspresi, tutur kata dan perilakunya
dapat menjadi contoh bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupannya.
Ketiga, masyarakat perlu mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam
tentang agama dan media massa. Mengingat antara media massa dengan agama
terjadi interaksi yang kontroversial. Media massa dengan tuntutan
industrialisasi bisa jadi menampilkan sesuatu yang dianggap “haram” bagi
agama. Karenanya sikap selektif dan menjadi penonton/pembaca akktif
(active recipient) sangat diperlukan di era informasi ini.
Keempat, perlu dibentuk dan difungsikan institusi-institusi atau
komunitas-komunitas/klub-klub yang concern dalam pengembangan dakwah
yang menggunakan media, khususnya media elektronik. Sebenarnya sudah ada
lembaga-lembaga yang concern di bidang audio-visual seperti komunitas
FUN yang merupakan gabungan dari institusi-institusi: M-Screen (divisi
audio-visual KAMMI), sigma (divisi audio-visual UNJ), mimazah
(mahasiswa/i Islam IKJ), Mer-C, Forum Lingkar Pena, Teater Kanvas,
Teater Bening, dan Lembaga seni Budaya Muhammadiyah. Lembaga-lembaga
semacam ini perlu diberdayakan dan disupport oleh lembaga atau umat
Islam sehingga menghasilkan karya-karya terbaik untuk pengembangan
Islam.
Kelima, adanya kerjasama yang baik antar lembaga/komunitas/klub yang
concern pada dakwah melalui audio-visual dan juga kerjasama dengan
production house yang telah memiliki reputasi dan kepedulian terhadap
kemajuan bangsa serta kerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang
memungkinkan untuk dilakukan. Keenam, perlu diadakan kegiatan-kegiatan
pameran, lomba karya seni (produksi audio-visual), dan kegiatan-kegiatan
lain yang dapat memacu umat Islam untuk berpartisipasi dan berkreasi.
Ketujuh, umat Islam diupayakan memiliki station televisi yang dapat
mengimbangi station-station yang ada.
Sebagai catatan akhir, penulis ingin menyampaikan satu rumus yang
diberikan oleh Malik bin Nabi bahwa untuk tercapai peradaban masa depan
yang gemilang (arah peradaban), kuncinya adalah adanya prinsip moral
plus cita rasa keindahan. Prinsip moral didapat melalui unsur agama
yang disebarkan melalui aktivitas dakwah dan cita rasa keindahan didapat
melalui unsur seni. Keduanya dakwah dan seni dapat berkolaborasi menuju
peradaban yang penuh kedamaian sesuai dengan karakter Islam itu
sendiri. Oleh karena itu, dakwah yang ditampilkan melalui seni, terutama
dalam bentuk film dan sinetron menjadi pilihan alternatif untuk dakwah
di masa depan.
Buku yang ditangan Saudara ini dapat dijadikan salah satu bahan untuk
memperdalam pemahaman tentang dakwah melalui sinetron dan film.
Karenanya, Penulis apresiatif terhadap karya yang ditulis oleh Saudara
Zaenal Arifin. Karya ini memberi sumbangsih besar dalam pengembangan
dakwah melalui film dan sinetron. Apalagi tokoh yang dibidik dalam karya
ini adalah Deddy Mizwar, seorang senior, penulis, aktor, dan da’i, yang
tidak asing lagi dalam dunia perfilm-an dan sinetron. Karya ini layak
untuk dibaca dan dikritisi agar umat Islam dapat mengambil pelajaran
untuk diterapkan dalam pengembangan dakwah dan juga bisa mencontoh tokoh
yang ditulis ini dalam pengembangan dunia perfilm-an dan sinetron.
Semoga..
DAFTAR PUSTAKA
A. Muis, Komunikasi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1986.
Hasan Hanafi, Agama Kekerasan dan Islam Kontemporer, Yogyakarta:
Jendela, 2001.
Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Bandung:
Mizan, 2001.
Jhon L. Esposito, Islam The Straight Path, New York: Oxford University
Press, 1988.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid, Bandung: Mizan, 2001.
Leo W. Jeffres, Mass Media Process and Effects, Illinois: Waveland
Press, 1986.
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Bandung: Mizan, 2000.
Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, Bandung: Mizan, 1994.
Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Bogor: Litera Antar
Nusa, 2000.
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.
S. Yunanto et al, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara,
Jakarta: FES & The Ridep Institute, 2003.
Thomas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam, Jakarta: Widjaja, 1981.
Tarmizi Taher, Aspiring for the Middle Path Religious Harmony in
Indonesia, Jakarta: Censis, 1997.
Http://anglefire.com/television, Televisi and Violence.
MASYARAKAT ISLAM DAN PEMBERDAYAANNYA
Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab “syarikah” yang berarti
perkumpulan. Istilah masyarakat yang berasal dari kata syarikah
tersebut lebih dikenal dan begitu familiar bagi masyarakat Indonesia
dibandingkan istilah Arab al-mujtama’ yang berarti masyarakat.
Sementara, Naquib Alatas dan Anwar Ibrahim ketika memperkenalkan istilah
masyarakat madani menggunakan istilah al-mujtama’ al-madani, bukan
menggunakan istilah syarikah.
Di dalam al-Qur’an, istilah masyarakat yang maknanya berhimpitan dengan
kata syarikah dikenal dengan kata ummah. Ada kurang lebih 51 kali kata
ummah digunakan oleh al-Qur’an dan 13 kali menggunakan kata umam.
Istilah ummah/umam digunakan oleh al-Qur’an dalam dua cara: Pertama,
ummah diartikan secara homonim (berdiri sendiri dan tidak berkaitan
dengan arti masyarakat) yaitu waktu (QS. 11: 8), imam (QS. 16: 120), dan
perilaku. Kedua, ummah dalam arti persekutuan masyarakat agama atau
masyarakat Islam (QS. 43: 33). Arti kedua dari istilah ummah inilah yang
dimaksudkan dengan masyarakat.
Adapun definisi masyarakat, menurut Ralph Linton yang dikutip oleh Sidi
Gazalba, yaitu kelompok manusia yang cukup lama hidup dan bekerjasama
sehingga dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir mengenai dirinya
sebagai kesatuan sosial yang mempunyai batas-batas tertentu. Sedangkan
Murtadha Muthahhari mengartikan masyarakat adalah kelompok manusia yang
saling terkait oleh sistem-sistem, adat istiadat, ritus-ritus dan
hukum-hukum khas yang hidup bersama.
Kapan masyarakat itu mulai ada di permukaan bumi ini? Jika mengacu
kepada teori yang dikembangkan oleh al-Qur’an, masyarakat mulai ada dan
terbentuk sejak zaman nabi Nuh as. Karena pada saat nabi Nuh sudah ada
kaum atau kelompok manusia dan sudah ada syari’at (peraturan) yang
menjadi pedoman dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, “Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh....” (QS. 42: 13).
Menurut ajaran Islam, terbentuknya masyarakat pada zaman nabi Nuh tidak
terlepas dari motivasi yang ada dalam diri manusia. Setiap individu
secara fitrah (naluriah) memiliki sifat kemasyarakatan. Hal ini dapat
diketahui dari realitas yang ada bahwa tidak ada manusia di dunia ini
yang bisa hidup sendirian dan tidak berkeinginan untuk berkelompok.
Seluruh manusia pasti membutuhkan orang lain dan senantiasa berkeinginan
untuk hidup berkelompok. Hidup berkelompok merupakan sifat bawaan,
bukan karena keterpaksaan atau karena berdasarkan pilihan-pilihan yang
dilakukan oleh individu. Dasar naluriah manusia hidup berkelompok
disebabkan karena adanya perasaan badan yang membutuhkan rasa
kehangatan. Laki-laki membutuhkan perempuan dan sebaliknya perempuan
membutuhkan laki-laki. Dari kebutuhan tersebut lahirlah lembaga
perkawinan dan pranata sosialnya. Selain itu, manusia berkumpul karena
adanya usaha mencari keuntungan ekonomi atau untuk memenuhi kebutuhan
makan dan minum. Dari sanalah manusia pada awalnya melakukan model
saling tukar menukar (barter) antara satu individu dengan individu
lainnya, yang pada akhirnya terbentuk kelompok atau komunitas. Setelah
adanya alat tukar berupa uang, manusia membentuk lembaga pasar dan
pranata sosialnya.
Al-Qur’an menjelaskan tentang kefitrahan manusia dalam membentuk
kelompok seperti tertera dalam surat al-Hujurat ayat 13 ”Hai manusia,
kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan seorang perempuan, dan telah
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Orang yang paling mulia di antara kamu ialah yang paling taqwa
di antara kamu”. Dalam ayat ini ada falsafah keberadaan manusia yang
diciptkan oleh Tuhan selalu hidup berkelompok-kelompok.
Dengan dasar falsafah tersebut, maka hakekat dasar masyarakat adalah
bersatu. Persatuan bisa berbentuk subyektif dan obyektif. Persatuan yang
bersifat subyektif adalah persatuan yang didasarkan kepada agama. Dalam
ajaran Islam, seluruh umat Islam adalah bersaudara, tidak mengenal
batas-batas wilayah territorial, seperti tertera dalam al-Qur’an
“Sesungguhnya orang mukmin adalah bersaudara” (QS. 49:10). Jika
persaudaran secara subyektif tidak bisa tercapai dalam rangka bersatunya
masyarakat, maka persatuan bisa dibentuk dalam kerangka persatuan yang
bersifat obyektif, yakni kesatuan yang bersifat kemanusiaan. Kita
berasal dari keturunan yang satu yaitu Adam dan Hawa. Sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 213 “manusia pada
dasarnya adalah umat yang satu”.
Bersatu dalam masyarakat bukan berarti tidak ada kebebasan individu,
seakan-akan semuanya lebur menjadi satu seperti halnya senyawa kimiawi.
Islam tetap menghargai kebebasan berpikir dan bertindak individu ketika
ia bersatu dalam masyarakat. Persatuan yang dimaksud lebih pada konsep
kebhinekaan dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam kebhinekaan.
Kalaupun di masyarakat terdapat perbedaan atau konflik akibat adanya
gesekan dalam berinteraksi, tetapi Islam tidak menjadikan konflik
sebagai tempat berangkat, sebaliknya Islam menganggap unit-unit sosial
yang tampaknya berseberangan kepentingan sebagai pasangan. Konsep Islam
ini berbeda dengan konsep Marxisme yang menyatakan bahwa terbentuknya
masyarakat karena adanya konflik antara kaum borjuis dengan proleter
yang masing-masing memperjuangkan hak-haknya masing-masing.
Bertitik tolak dari hakekat masyarakat tersebut, amat disayangkan dan
bahkan bertentangan dengan ajaran Islam manakala kegiatan dakwah yang
dilakukan oleh individu atau organisasi dapat memecah belah masyarakat.
Persatuan dan keharmonisan yang terdapat pada masyarakat jangan sampai
dirasuki oleh kepentingan pragmatis yang berkedok agama.
Memang kita tidak bisa menafikan adanya perbedaan dan konflik di
masyarakat. Itu semua sudah menjadi sunnatullah. Islam disamping sebagai
pedoman hidup (way of life) yang harus dipertahankan dan dibela, tetapi
disisi lain Islam juga sebagai fenomena sosial. Islam tampil di
permukaan dengan pelbagai macam variannya, yang diekspresikan oleh
masing-masing kelompok dalam masyarakat, dimana antara satu dengan
lainnya sama-sama Islam tetapi sangat mungkin berbeda dalam
artikulasinya.
Pada konteks inilah, kita perlu bersikap arif dan bijaksana.
Dakwah-dakwah yang kita lakukan tetap berorientasi pada dakwah yang
rahmatan lil ‘alamin. Kita perkuat pemahaman masyarakat secara
intelektual bahwa apapun perbedaan yang ada, semua harus memiliki dasar
yang dijadikan rujukan untuk berpendapat. Jika masing-masing memiliki
dasar, umat Islam tidak perlu konflik dan berpecah belah, masing-masing
berpegang teguh dengan landasan dasarnya.
Kalaupun terlalu sulit untuk dipersatukan dan dipertemukan dalam kajian
intelektual, maka perlu dibangun kesadaran bahwa kita adalah satu dan
bersaudara sesama keturunan Adam atau pengikut nabi Muhammad saw. Kita
tidak perlu merasa diri atau kelompoknya paling benar dan diterima
Tuhan. Semua perjalanan keberagamaan kita adalah dalam rangka mencari
kebenaran dan ridha Tuhan, bukan menjadi kebenaran itu sendiri atau
menjadi Tuhan di dunia. Kita hanya bisa mendekat atau taqarub kepada-Nya
dan berserah diri sambil berharap akan mendapatkan balasan di hari
akhirat nanti.
A. Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Pengaturan Kehidupan Bermasyarakat
Untuk mempersatukan masyarakat diperlukan tali pengikat yang kokoh.
Secara individual, masing-masing anggota masyarakat telah dibekali oleh
Tuhan sifat kemasyarakatan sebagai tali pengikatnya. Namun, tali
pengikat tersebut perlu diperkuat dengan nilai-nilai yang bersumber dari
ajaran agama atau bersumber dari Tuhan. Nilai-nilai yang bersumber dari
manusia terkadang tidak mampu menghadapi gempuran daya tarik dunia yang
begitu mempesona dan mudah hilang karena tidak relevan lagi dengan
kehidupan. Oleh karena itu, Islam membangun masyarakatnya di atas
landasan nilai-nilai yang diajarkan oleh Allah dan Rasulnya. ada
beberapa prinsip-prinsip dasar dalam pengaturan kehidupan masyarakat,
menurut ajaran Islam, yaitu:
1. Berporos pada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip pertama dalam pengaturan masyarakat bertitik tolak dari konsep
“inna lillah wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kita berasal dari
Allah dan akan kembali kepada Allah). Prinsip ini menjadi dasar dalam
setiap gerak kehidupan manusia. Kehadiran manusia di dunia tidak
terlepas dari campur tangan Tuhan. Dari tidak ada menjadi ada. Artinya
manusia diadakan oleh Tuhan. Begitu pula alam yang menjadi tempat
tinggal manusia diciptakan Tuhan dan diatur oleh Tuhan. Dia berhak untuk
meninggikan atau merendahkan ciptaan-Nya.
Jika masyarakat yang ingin dibangun dapat berkembang dengan baik, maka
masyarakat tersebut perlu memahami design Tuhan terhadap alam semesta
dan seisinya. Manusia bisa memahami design Tuhan apabila manusia
tersebut meyakini ajaran agama yang dibawa oleh utusan-Nya. Di dalam
ajaran agama akan dijelaskan bagaimana manusia mengenal Tuhan, berterima
kasih kepada Tuhan, mengembangkan diri, mengatur masyarakat, membangun
negara dan lain sebagainya.
Mengapa harus Tuhan Yang Maha Esa? Karena logika mengatakan jika satu
mobil yang sama dikendarai oleh dua orang secara bersamaan akan
menimbulkan konflik dan kecelakaan, satu supir ingin ke kanan dan supir
yang lain ingin ke kiri. Begitu pun dengan Tuhan, jika dunia atau
manusia dimiliki oleh dua Tuhan tentu akan menimbulkan konflik dan
kebimbangan bagi manusia. Untuk itulah, Islam menolak umatnya apabila
membuat persekutuan atau tandingan terhadap Tuhan yang diyakininya.
2. Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Manusia yang merupakan unsur-unsur pembentuk suatu masyarakat memiliki
kemerdekaan dalam berpikir dan berkehendak secara perorangan. Manusia
secara individu tidak ditentukan oleh jiwa masyarakatnya, melainkan ia
melestarikan haknya untuk berpikir dan bertindak. Manusia bertanggung
jawab atas diri dan masyarakatnya. Setiap individu tidak boleh melakukan
tindakan seenaknya atau sewenang-wenang tanpa memedulikan orang lain.
Tindakan seseorang yang tidak baik pada dasarnya akan merusak individu
dan masyarakatnya. Sebagai contoh, ada seorang warga di desa tertentu
yang suka mabuk-mabukan dan mengganggu orang lain, maka tindakan yang
dilakukan oleh orang tersebut bukan hanya merusak nama orang tersebut
tetapi juga merusak nama baik warga secara keseluruhan. Oleh karena itu,
dengan adanya amar ma’ruf nahi munkar akan muncul sikap saling
menasehati atau saling mengingatkan antara yang satu dengan yang
lainnya.
Menurut Murtadha Mutahhari, konsep amar ma’ruf nahi munkar merupakan
kode perilaku al-Qur’an yang mewajibkan individu untuk menyelamatkan
masyarakat dari kehancuran dan kerancuan. Mengingat hukum
interdependensi antara kondisi-kondisi lahiriah dan sikap moral manusia,
berjalan timbal balik. Di saat-saat nilai moral itu dipegang teguh,
maka kemajuan material pun akan diperoleh. Namun, bila nilai-nilai itu
diabaikan, keruntuhan secara serentak pada moral dan material pasti tak
terelakkan lagi.
Oleh karena itu, partisipasi individu amat diperlukan dalam menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar karena potensi berkembangnya kejahatan atau
kebaikan juga bersumber dari individu-individu yang ada di masyarakat.
Secara teknis, kewajiban untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar
tidak ada penjelasannya dari al-Qur’an. Semuanya diserahkan kepada
manusia untuk mengatur kewajiban tersebut disesuaikan dengan keadaan
tempat dan waktu. Kapan dan bagaimana pelaksanaan amar ma’ruf nahi
munkar dilaksanakan tergantung pada waktu dan tempat di masing-masing
wilayah.
Hal yang pasti perubahan positif di masyarakat tidak mungkin tercapai
kecuali bila masyarakat itu sendiri menyadari sepenuhnya pentingnya
perubahan dan upaya yang sungguh-sunggug ke arah itu. Sebagai
konsekuensi selanjutnya, menjadi kewajiban semua intelektual muslim
untuk menempatkan persoalan kemasyarakatan sebagai bahan kajian dan
analisa yang ditekuni tanpa henti, lalu menyampaikan hasil pemikiran dan
analisanya itu semata-mata ia baktikan demi kemaslahatan bersama.
3. Menegakkan keadilan.
Dalam setiap khutbah, khatib Jumat selalu memberikan pesan tentang arti
penting bersikap adil dan ihsan (berbuat baik). Hal ini menunjukkan
bahwa keadilan merupakan pilar kuat bagi terbentuknya masyarakat madani
(al-mujtama’ al-madani). Tanpa keadilan yang barakar kuat di masyarakat,
kesejahteraan dan kedamaian hidup di masyarakat hanyalah ilusi belaka
dan menjadikan pertanyaan besar yang tiada ujung. Karenanya, pesan
keadilan terus dikumandangkan minimal setiap khutbah jumat sebagai media
untuk sosialisasi dimana kaum muslimin (laki-laki terutama) berkumpul
untuk menunaikan ibadah shalat.
Dalam realitas sosial-politik, saat ini kita dihadapkan oleh berbagai
pertanyaan tentang nilai keadilan. Tatkala para penguasa di masa Orde
Baru disinyalir terlibat berbagai kasus hukum dan proses pengadilan pun
digelar, banyak dijumpai hal-hal yang ganjil dan menunggu keputusan
yang benar-benar adil. Kasus Nazaruddin yang masih belum definitif saat
ini juga sedang dinanti rakyat dan pertanyaan yang muncul kemudian
adalah apakah kasus ini juga akan berakhir dengan benar-benar adil?
Adanya berbagai dugaan dan sampai pada proses tersangkanya seseorang
juga tetap memberikan peluang besar terhadap pertanyaan akankah keadilan
ada, atau hanya penyelesaian di bawah meja yang akan terjadi?
Di luar kasus hukum, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga
menyentak banyak pihak terutama apakah kenaikan tersebut akan disertai
dengan peningkatan kualitas pelayanan yang selama ini masih dikeluhkan
konsumen? Masyarakat hanya pada sebatas pertanyaan yang terkadang sudah
“tahu sama tahu” jawabannya. Kenaikan harga BBM yang memiliki dampak
cukup luas, khususnya bagi masyarakat kecil di tingkat bawah, menjadi
dasar pertanyaan apakah keadilan akan terjadi atau dari kenaikan harga
BBM tersebut penyalahgunaan dana kompensasi akan semakin merebak dan
kedhaliman semakin menguat. Rakyat memang sudah lama diberikan tugas
menunggu dan menunggu.
Indonesia sebagai negara hukum dan akan selalu menghormati hokum,
akankah mampu menciptakan kesadaran hukum secara universal terhadap
martabat dan hak-hak asasi rakyat. Lewat hukum pengakuan sekaligus
perlindungan terhadap manusia dilakukan. Untuk kepentingan tersebut,
kita berharap penegak hukum dapat menjaga, mengawasi, memberi penyuluhan
agar aturan hukum dipatuhi, menyidik, menuntut, mengadili, dan
menghukum pihak-pihak yang melanggar hukum sesuai dengan hukum secara
adil. Itulah tugas penegak hukum, polisi, jaksa, pengacara/penasehat
hukum, dan hakim.
Jika penegak hukum yang bertugas untuk menyebarkan keadilan melakukan
hal-hal yang berlawanan dengan hukum apalah jadinya negara yang kita
sebut sebagai negara hokum. Wajar apabila kesengsaraan timbul di
mana-mana dan bencana pun silih berganti. Sebab hukum yang diciptakan
untuk mewujudkan nilai keadilan, kebenaran, ketertiban, dan sekaligus
melindungi hak-hak dan martabat manusia baik secara individual maupun
kolektif telah dilanggar dan dikhianati.
Patut disadari bahwa hukum itu sendiri tidak selalu mampu membuat
keadilan bisa terwujud, Justru, seringkali hukum melanggar keadilan itu
sendiri. Demi tegaknya hukum, keadilan dapat saja dilanggar dan
“diperkosa” sesuai nafsu pemegang hukum yang sering main-main dengan
logikanya sendiri tanpa memperhatikan hati nurani dan keadilan sosial
yang semestinya mereka pegang kuat-kuat. Jika hukum lepas dari
etis-moral maka dapat dipastikan hukum akan nyaris menyerupai teknologi
atau alat semata sehingga hukum bagaikan dua mata pedang yang menjaga
seseorang sekaligus membunuh tergantung pada siapa yang memegangnnya.
Oleh karena itu, Islam menjadikan keadilan sebagai prasyarat penting
untuk membangun masyarakat. Keadilan merupakan hukum sosial yang harus
dilaksanakan manakala ingin meraih kesuksesan dalam membentuk
masyarakat. Keadilan dalam Islam merupakan perbuatan yang dapat
mendekatkan pelakunya sebagai orang yang bertaqwa di hadapan Tuhan.
Sebagaimana firman Allah “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
(QS. 5: 8).
4. Meletakkan adanya prinsip persamaan
Persamaan dalam perlakuan dan pelayanan merupakan prinsip dasar dalam
pembentukan masyarakat muslim. Setiap orang memiliki hak untuk
mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang baik, tidak ada perbedaan antar
si kaya dengan si miskin, penguasa atau rakyat jelata, berpendidikan
atau tidak berpendidikan. Di mata Tuhan, semua memiliki kedudukan yang
sama. Perbedaan hanya terletak pada ketaqwaan seseorang terhadap
Tuhannya. Konsekuensi logis dari adanya persamaan tersebut, setiap
individu di hadapan hukum memiliki kedudukan yang sama. Orang kaya atau
penguasa ketika melakukan kesalahan harus mendapatkan hukuman sesuai
dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya. Demikian juga, ketika orang
miskin atau rakyat jelata melakukan kesalahan, tetap mendapatkan hukuman
sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya. Rasulullah pernah
menyatakan, apabila Fatimah anak Nabi melakukan kesalahan atau mencuri,
maka beliau akan menghukum anaknya atau memotong tangannya. Hal ini
menunjukkan bahwa Rasulullah ingin menerapkan pemberlakuan yang sama
dihadapan hukum bagi semua orang, tak terkecuali anak Nabi.
Ada tiga alasan pokok yang menyebabkan konsep persamaan penting untuk
dilaksanakan yaitu: Pertama, dengan konsep persamaan akan meminimalisir
adanya konflik di masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat dibangun di
atas perbedaan-perbedaan baik secara etnis, budaya, agama dan bahasa.
Adanya perbedaan-perbedaan tersebut meniscayakan adanya gesekan dan
konflik di masyarakat. Untuk menghindari konflik yang lebih besar, maka
perlu dibangun kesadaran pada setiap individu bahwa mereka pada dasarnya
sama dihadapan Tuhan.
Kedua, adanya konsep persamaan akan melahirkan perlakuan hukum yang
sama. Para penegak hukum akan memperlakukan sama kepada semua orang
dalam menegakkan hukum. Bahkan, hukum mendapatkan penghargaan yang
tinggi di hadapan masyarakat. Ketidakadilan dalam penegakan hukum salah
satunya disebabkan karena para penegak hukum tidak memperlakukan sama
kepada semua orang. Para penegak hukum melakukan tebang pilih dalam
proses penegakan hukum. Si kaya dan penguasa lebih didahulukan,
dipermudah dan bahkan dibebaskan dari jeratan hukum, sementara si miskin
dan rakyat jelata dipersulit, diabaikan dan dijerat hukum secara
maksimal.
Ketiga, dengan adanya konsep persamaan, masyarakat akan saling tolong
menolong dan saling menghargai antara satu dengan lainnya. Masyarakat
sadar bahwa keberadaan mereka pada dasarnya berasal dari diri yang satu,
yakni dari nabi Adam as. Perbedaan hanya terletak pada lapisan luar dan
bersifat sementara. Kelebihan yang dimiliki bukanlah untuk dipamerkan
dan menjadikan manusia untuk berlaku sombong. Kelebihan yang diberikan
Tuhan merupakan bagian dari amanah yang harus dijalankan. Kelebihan dan
kekurangan merupakan bagian dari gelombang kehidupan yang dimaksudkan
untuk memberikan kemudahan dalam melaksanakan pekerjaan. Tidak mungkin
seorang yang diberikan kelebihan dapat berdiri sendiri tanpa ada orang
yang kekurangan. Orang yang pintar tidak mungkin disebut pintar kalau
tidak ada yang bodoh dan tidak ada yang diajarkan. Dengan demikian,
orang yang pintar pasti membutuhkan orang yang bodoh. Sebaliknya, orang
yang bodoh tidak bisa hidup sendirian dengan kebodohannya, ia pasti
membutuhkan petunjuk dan arahan dari orang yang pintar dalam menjalani
kehidupan yang lebih baik. Dengan adanya kesadaran akan saling
ketergantungan dan persamaan tersebut akan melahirkan sikap untuk saling
membantu dan saling menghargai antara sesama.
5. Mendahulukan Musyawarah
Musyawarah merupakan konsep yang diajarkan al-Qur’an untuk menyelesaikan
perselisihan di antara dua kelompok atau untuk memecahkan berbagai
persoalan yang ada di masyarakat. Musyawarah menjadi cii khas dan
karakter dari masyarakat muslim. Mengedepankan musyawarah dalam berbagai
hal merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh Rasulullah,
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Imran (3) ayat 159:
•
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Beliau sering meminta pendapat kepada para Sahabatnya ketika mengambil
kebijakan di bidang sosial-kemasyarakatan. Sebagai contoh nabi meminta
pendapat para Sahabat dalam menentukan lokasi pasukan muslimin dalam
perang Badar. Ketika Nabi menentukan lokasi, seorang Sahabat al-Khubbab
Ibn al-Mundzir bertanya “apakah tempat yang ditentukan itu telah
diperintahkan Allah kepadamu atau pilihan tersebut adalah pilihanmu
berdasarkan strategi perang dan tipu muslihat”. Ketika Nabi menjawab
bahwa pilihan itu adalah pilihan berdasarkan pertimbangan beliau,
barulah al-Khubbab menyarankan lokasi lain, yang ternyata disetujui oleh
Nabi saw.
Ada beberapa sikap yang diajarkan oleh al-Qur’an bagi mereka yang mau
melaksanakan musyawarah yaitu: Pertama, seorang yang melakukan
musyawarah, yang pertama harus dihindari adalah tutur kata yang kasar
dan sikap keras kepala. Kedua, memberi ma’af dan membuka lembaran baru.
Dalam musyawarah seringkali terjadi perbedaan pendapat, terkadang ada
kalimat-kalimat yang dapat menyinggung perasaan atau ada perlakuan yang
dinilai tidak wajar. Pada konteks inilah peserta musyawarah harus
menyiapkan mental untuk senantiasa membuka pintu ma’af. Ketiga,
permohonan ampunan dari Tuhan, disertai dengan tindakan bertawakkal
kepada Allah swt.
Sikap itulah yang perlu terus dikembangkan dan ditanamkan kepada setiap
umat Islam dalam menjalankan musyawarah. Musyawarah merupakan diskusi
bersama, bukan meminta pendapat dari orang-orang yang dianggap bijak dan
memiliki segudang kearifan. Dengan diskusi bersama akan ada berbagai
masukan dan alternatif dalam memecahkan berbagai persoalan. Kemudian
keputusan yang diambil pun tidak berdasarkan kepentingan satu orang atau
sekelompok orang, melainkan pada kepentingan dan kebutuhan bersama.
6. Memberikan ruang kebebasan
Praktek yang dilakukan oleh Rasulullah dalam memberikan kebebasan kepada
warganya dalam memeluk agama dan menyampaikan pendapat, telah
terdokumentasikan dengan baik dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah
merupakan bukti historis bahwa Islam telah berhasil membentuk masyarakat
kota dan masyarakat yang beradab.
Keberhasilan yang dilakukan oleh Rasulullah telah menginspirasikan
kepada generasi berikutnya untuk mengembangkan model masyarakat yang
dibangun oleh Rasulullah. Model tersebut kemudian diperkenalkan oleh
Naquib Alatas, seorang intelektual dari Malaysia, dengan istilah
al-mujtama’ al-madani (masyarakat madani), yang sekarang ini menjadi
gerakan dan cita-cita dalam membangun masyarakat.
Salah satu karakter dari masyarakat madani adalah adanya free public
sphere, yakni adanya ruang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan
pendapat tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Jika ruang bebas
tersebut tersumbat, maka kebebasan tidak akan tercipta dan masyarakat
akan mengalami kesulitan dalam menyalurkan aspirasinya.
Kebebasan yang diberikan Islam kepada masyarakatnya tetap berada pada
koridor kebenaran dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jika
kebebasan yang diberikan tersebut dipergunakan untuk berbuat kemaksiatan
dan dosa, maka Islam tidak memberikan toleransi. Kemudian, dalam
menyalurkan kebebasan pun tidak diperkenankan manakala dilakukan secara
anarkis dan radikal. Islam mengajarkan untuk menyampaikan aspirasinya
dalam konteks hikmah dan penuh kedamaian.
7. Adanya sikap tanggung jawab sosial
Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar yang menjamin tanggung jawab bersama
atas setiap orang dengan memerhatikan kemampuan masing-masing, apakah
kontribusi tersebut dalam bentuk pekerjaan maupun intelektual. Di dalam
al-Qur’an Allah menyatakan “Mereka bertanya tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja
kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya”
(QS. 2: 215).
Dasar-dasar yang diletakkan oleh al-Qur’an tersebut diperkuat oleh
hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Sebaik-baik manusia adalah orang yang
dapat memberikan kemanfaatan pada orang lain”. Memberikan kemanfaatan
pada orang lain dapat berupa pemberian nafkah kepada keluarga, membayar
pajak, zakat, pelayanan jasa, dan bisa juga melakukan berbagai kegiatan
sosial kemasyarakatan.
Tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya
merupakan wujud dari tanggung jawabnya untuk mengembalikan sebagian dari
apa yang telah diberikan masyarakat kepadanya. Bagaimana pun upaya yang
dilakukan oleh seseorang dalam meraih kesuksesan, pasti tidak bisa
dilepaskan dari peran masyarakat dalam mendukung kesuksesan orang
tersebut. Sebagai wujud dari rasa terima kasihnya kepada masyarakat,
maka setiap individu dapat bertanggung jawab kepada masyarakatnya.
B. Pemberdayaan Masyarakat
Konsep pemberdayaan sudah lahir sejak revolusi industri atau bahkan ada
juga yang menyebut sejak lahirnya Eropa modern pada abad ke-18 atau
zaman renaissance, yaitu ketika orang mulai mempertanyakan determinisme
keagamaan. Kemudian konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus
pembangunan, ketika orang mulai mempertanyakan makna pembangunan. Di
Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika industrialisasi menciptakan
masyarakat penguasa, faktor produksi dan masyarakat pekerja yang
dikuasai. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang, wacana
pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disintegrasi sosial,
kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat
dari faktor produksi oleh penguasa.
Pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan
model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep
ini dibangun sebagai kerangka logik: Pertama, proses pemusatan
kekuasaan pembangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi. Kedua,
pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja
dan masyarakat pengusaha pinggiran. Ketiga, kekuasaan akan membangun
bangunan atas dasar sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum,
dan ideologi yang manipulatif, untuk memperkuat legitimasi. Keempat,
Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem politik, dan ideologi,
secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu
masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah
dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi lain masyarakat
yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka
harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang
dikuasai (empowerment of the powerless).
Berdasarkan penelitian kepustakaan, proses pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses
pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan
kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini
dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung
pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecenderungan
pemberdayaan jenis ini disebut kecenderungan primer dari makna
pemberdayaan.
Kedua, kecenderungan pemberdayaan yang dipengaruhi oleh karya Paulo
Freire yang memperkenalkan istilah conscientization (penyadaran).
Konsientisasi merupakan suatu proses pemahaman situasi yang sedang
terjadi sehubungan dengan hubungan-hubungan politik, ekonomi, dan
sosial. Seseorang menganalisis sendiri masalah mereka, mengidentifikasi
sebab-sebabnya, menetapkan prioritas dan memperoleh pengetahuan baru.
Dalam spektrum ini, pemberdayaan identik dengan kemampuan individu untuk
mengontrol lingkungannya. Kesadaran kritis dalam diri seseorang dapat
dicapai dengan cara melihat ke dalam diri sendiri serta menggunakan apa
yang didengar, dilihat dan dialami untuk memahami apa yang sedang
terjadi dalam kehidupannya.
Dalam arti sempit pemberdayaan berkaitan dengan sistem pengajaran
profesional yang memiliki standar sesuai dengan kebutuhan kerja. Menurut
Isbandi Rukminto Adi bahwa pemberdayaan atau pengembangan masyarakat
lahir dari tradisi ilmu pendidikan dan bidang pekerjaan sosial. Mereka
meyakini bahwa dalam pengalaman bangsa Inggris, pengembangan masyarakat
merupakan perkembangan dari pendidikan massa atau pendidikan masyarakat
(community education).
Sedangkan dalam arti luas pemberdayaan merupakan sebuah proses yang
mendorong masyarakat untuk mengkonstruksi sebuah makna dan pengalaman
baru tentang kebebasan yang mereka pilih. Selanjutnya Robinson
memperjelas konsep pemberdayaan dengan mengemukakan bahwa empowerment is
a personal and social process, a liberating sense of one’s own
strengths, competence, creativity and freedom of action, to be empowered
is to feel power surging into one from other people and from inside,
specially the power to act and growth, to become in Paulo Freire’s term
“more fully human”.
Untuk memahami lebih jauh, proses pemberdayaan atau pengembangan
masyarakat. Berikut ini akan penulis uraikan tiga teori yang ada dalam
ilmu Sosiologi, yaitu teori struktural fungsional, teori konflik, dan
teori kritis. Ketiga teori tersebut, meskipun sudah lama dan banyak
mendapatkan kritik dari para Sosiolog Modern, tetapi pengaruh teori
tersebut masih dirasakan dan dapat diterapkan dalam menganalisis
masyarakat pada masa sekarang. Masih banyak teori-teori Sosiologi lain
yang dapat digunakan untuk menganalisis perkembangan masyarakat di era
modern ini, seperti teori strukturasi yang dikembangkan oleh Anthony
Giddens, teori Mcdonaldization yang dikembangkan oleh Ritzer, dan lain
sebagainya. Namun, dengan keterbatasan waktu dan pemahaman yang penulis
miliki, maka pada kesempatan ini, penulis tidak menguraikan teori-teori
tersebut.
Teori struktural fungsional merupakan salah satu teori utama dalam
Sosiologi yang dipengaruhi oleh pemikiran Emile Durkheim (1858-1917) dan
dikembangkan secara sistematis oleh Talcott Parsons.
Ada dua asumsi dasar yang digunakan oleh teori struktural fungsional:
Pertama, masyarakat terbentuk atas sub struktur-sub struktur yang dalam
fungsi-fungsi mereka masing-masing saling bergantung sehingga
perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu sub struktur dengan
sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam
substruktur-substruktur lainnya pula. Oleh karena itu, tugas analisis
sosiologis adalah menyelidiki kenapa yang satu mempengaruhi yang lain,
dan sampai sejauhmana perubahan tersebut bisa berpengaruh pada yang
lainnya.
Kedua, setiap sub struktur yang telah mantap berfungsi sebagai penopang
aktivitas-aktivitas atau substruktur-substruktur lainnya dalam suatu
sistem sosial. Contoh-contoh substruktur-substruktur ini dalam
masyarakat adalah keluarga, perekonomian, politik, agama, pendidikan,
hukum dan lain sebagainya. Setiap substruktur dilestarikan oleh
peranan-peranan yang dimainkan oleh orang-orang dalam status mereka
masing-masing di dalam substruktur-substruktur ini. Akhirnya,
peranan-peranan ini tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan memahami
aturan-aturan yang tercipta berkat konsensus umum masyarakat.
Selanjutnya, prinsip dasar tersebut dikembangkan oleh Talcott Parsons
dalam menganalisis terjadinya proses perubahan di masyarakat.
Menurutnya, ada empat jenis proses perubahan: pertama, proses
keseimbangan yang mengacu pada proses yang membantu mempertahankan
batas-batas sistem. Proses ini mungkin statis atau dinamis. Di dalam dua
jenis keseimbangan ini proses berlangsung terus, hanya saja dalam
keseimbangan dinamis terdapat proses perubahan yang sudah terpola.
Kedua, perubahan struktural dalam suatu sistem sosial adalah perubahan
dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan. Ketiga, diferensiasi
struktural, proses ini menimbulkan perubahan di dalam subsistem, tetapi
tidak mengubah struktur sistem sosial secara keseluruhan.
Keempat,evolusi masyarakat yakni proses yang melukiskan pola
perkembangan masyarakat sepanjang waktu.
Berdasarkan uraian di atas dengan mengutip pendapat Van Den Berghe bahwa
ada tujuh ciri-ciri umum yang dimiliki oleh teori struktural fungsional
yaitu:
1. Masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri
dari berbagai bagian yang saling berinteraksi.
2. Hubungan yang ada bisa bersifat satu arah atau hubungan yang bersifat
timbal balik.
3. Sistem sosial yang ada bersifat dinamis, dimana penyesuaian yang ada
tidak perlu banyak merubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh.
4. Integrasi yang sempurna di masyarakat tidak pernah ada, oleh
karenanya di masyarakat senantiasa timbul ketegangan-ketegangan dan
penyimpangan-penyimpangan. tetapi ketegangan-ketegangan dan
penyimpangan-penyimpangan ini akan dinetralisir lewat proses
pelembagaan.
5. Perubahan-perubahan akan berjalan secara gradual dan perlahan-lahan
sebagai suatu proses adaptasi dan penyesuaian.
6. Perubahan merupakan hasil penyesuaian dari luar, tumbuh oleh adanya
diferensiasi dan inovasi.
7. Sistem diintegrasikan lewat pemilikan nilai-nilai yang sama.
Dengan mengacu kepada teori tersebut, maka perubahan pada individu tidak
semata-mata ditentukan oleh individu itu sendiri, melainkan ada
berbagai unsur yang saling terkait. Karena, menurut teori struktural
fungsional, di dalam masyarakat terdapat berbagai macam lembaga, dimana
masing-masing lembaga memiliki fungsi sendiri-sendiri.
Untuk menciptakan sebuah sistem sosial yang saling terkait diperlukan
sebuah bangunan, dimana perilaku individu dapat dikembangkan ke dalam
sistem sosial. Inilah yang kemudian oleh Talcott Parsons disebut sebagai
“The Structure of Social Action”. Menurutnya, ada beberapa elemen pokok
tentang konsep perilaku individu yang dapat dikembangkan ke dalam
sistem sosial: Pertama, aktor sebagai individu yang didorong oleh motif
dan nilai. Kedua, aktor memiliki tujuan yang ingin dicapai. Ketiga,
aktor memiliki berbagai cara-cara yang mungkin dapat dilaksanakan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan tersebut. Keempat, aktor dihadapkan pada
pelbagai kondisi dan situasi yang mempengaruhi pemilihan cara-cara yang
akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kelima, aktor dikomando
oleh nilai-nilai, norma-norma dan ide-ide dalam menentukan tujuan yang
diinginkan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Keenam,
perilaku, termasuk bagaimana aktor mengambil keputusan tentang cara-cara
yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dipengaruhi oleh ide-ide dan
situasi kondisi yang ada.
Dalam perkembangan sejarah berikutnya, teori fungsional struktural
mendapatkan kritikan dari teori konflik yang berakar dari teori Karl
Marx (1818-1883). Kemudian teori konflik berkembang pada pertengahan
abad ke-20 yang dikembangkan oleh ahli Sosiologi Jerman, Max Weber
(1864-1920) dan Georg Simmel (1858-1918). Beberapa tokoh terkenal lain
yang ikut mengembangkan teori konflik adalah Ralf Dahrendrof, Lewis
Coser, Randall Collin dan lain sebagainya.
Ada beberapa asumsi yang dikembangkan oleh teori konflik, yaitu:
Pertama, manusia sebagai makhluk hidup memiliki sejumlah kepentingan
paling dasar yang mereka inginkan dan berupaya untuk mendapatkan
kepentingan tersebut. Kedua, kekuasaan mendapatkan penekanan sebagai
pusat hubungan sosial. Kekuasaan bukan hanya merupakan sesuatu yang
langka dan tidak terbagi secara merata, sehingga merupakan sumber
konflik, tetapi juga pada hakekatnya kekuatan itu bersifat pemaksaan.
Ketiga, ideologi dan nilai-nilai dipandang sebagai suatu senjata yang
digunakan oleh kelompok-kelompok yang berbeda dan mungkin bertentangan
untuk mengejar kepentingan mereka sendiri. Ideologi dan nilai sama
sekali bukan merupakan sarana untuk mencapai integrasi dan mengembangkan
identitas sautu bangsa.
Berdasarkan asumsi tersebut, teori konflik memandang masyarakat sebagai
arena pertarungan dalam memperebutkan kekayaan, kekuasaan dan prestise
antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Mengapa demikian?
Menurut Randall Collin, setiap individu ingin memiliki kekayaan,
kekuasaan dan prestise. Dalam usaha memiliki hal-hal tersebut, tidak ada
individu yang mau mengalah secara sukarela. Berdasarkan hal tersebut,
dalam masyarakat akan senantiasa ada konflik sosial. Ditambah lagi,
karena kekuasaan dan prestasi merupakan barang langka, sedangkan
kekuasaan dan prestasi terkait erat dengan kekayaan, maka setiap
individu senantiasa ingin mendapatkan bagian kekayaan yang lebih banyak
daripada yang dimiliki orang lain. Konflik-konflik yang timbul sebagai
akibat perebutan kekayaan, kekuasaan dan prestise dapat terjadi dalam
pelbagai bentuk.
Manfaat apa yang bisa diambil dari teori konflik bagi pengembangan
masyarakat? secara sepintas memang teori konflik kurang memberikan
manfaat bagi pengembangan masyarakat, tetapi teori konflik dapat
memberikan pemahaman bagi kita bahwa di dalam masyarakat tidak sunyi
dari konflik. Karena menurut Dahrendrof, masyarakat memiliki dua wajah,
yaitu konflik dan konsensus. Masyarakat tidak mungkin ada tanpa konflik
dan konsensus, yang merupakan prasyarat bagi masing-masing. Jadi, kita
tidak mungkin berkonflik kecuali telah terjadi konsensus sebelumnya.
Konflik juga diperlukan untuk mendorong perubahan dalam struktur sosial.
Tatkala konflik semakin intens, perubahan yang terjadi pun makin
radikal. Perubahan dalam masyarakat merupakan kebutuhan yang tidak bisa
ditawar-tawar.
Seperti halnya teori struktural fungsional yang mendapat kritik, teori
konflik pun tidak terlepas dari berbagai kritik karena mengandung
kelemahan-kelemahan. Teori konflik dalam pembahasannya terlalu makro
sehingga kurang memberikan pemahaman tentang pikiran dan tindakan
individu. Begitu juga teori konflik dikritik karena mengabaikan adanya
keteraturan dan stabilitas serta berideologi radikal
Teori konflik mendapatkan kritikan dari teori kritis, terutama yang
dikembangkan oleh Jurgen Hubermas yang mengembangkan teori tindakan
komunikatif. Menurut Thomas McCharty, ada tiga tujuan teori tindakan
komunikatif yang dikembangkan oleh Habermas, yaitu:
1. Mengembangkan konsep rasionalitas yang tidak lagi terikat oleh
premis-premis subjektif filsafat modern dan teori sosial.
2. Mengkonstruksi konsep masyarakat dua level yang mengintegrasikan
dunia kehidupan dan paradigma sistem.
3. Membuat sketsa tentang modernitas yang menganalisis
patologi-patologinya dengan suatu cara yang lebih menyarankan adanya
perubahan arah daripada pengabaian proyek pencerahan.
Kritik Habermas terhadap teori konflik, khususnya berkaitan dengan
konsep materialisme sejarah Marx melahirkan teori tentang perkembangan
masyarakat. Ia menjelaskan bahwa masyarakat pada hakekatnya komunikatif
dan yang menentukan perubahan sosial bukanlah semata-mata perkembangan
kekuatan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam dimensi
praktis etis. Dalam bahasa yang lain, perubahan masyarakat banyak
ditentukan oleh komunikasi sosial yang berakar pada kehidupan sosial
yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan dalam sejarah
kehidupan manusia. adanya konsep komunikasi sosial inilah, teori kritis
yang dikembangkan oleh Jurgen Hubermas masih banyak dipakai dalam
menganalisis perubahan masyarakat pada era informasi sekarang ini.
Jika konsep pemberdayaan atau pengembangan masyarakat tersebut di
atas dikaitkan dengan ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, banyak
ayat yang membahasnya, diantaranya: pentingnya kemampuan dan kesadaran
individu untuk melakukan perubahan diri (QS. 13: 11), membebaskan
manusia dari berbagai belenggu kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan
(QS. 3:110), jangan meninggalkan generasi yang lemah (QS. 4: 9),
memperhatikan kaum dhuafa (QS. 107: 1-7), mengatasi masalah kemiskinan
(QS. 90: 12-16), dan lain sebagainya.
Konsep-konsep yang berbasis teologis tersebut perlu dijabarkan lebih
lanjut dalam konteks yang lebih sosiologis atau memenuhi sasaran
masyarakat yang menjadi lahan dakwah. Siapa dan apa kriteria orang yang
disebut dhuafa, strategi apa yang digunakan dalam membebaskan
kemiskinan, bagaimana cara agar umat islam tidak meninggalkan generasi
yang lemah, perubahan seperti apa yang diharapkan oleh Islam, siapa saja
yang terlibat dalam melakukan proses pemberdayaan, dan lain sebagainya.
Semua pertanyaan tersebut menjadi pekerjaan rumah para da’i atau
aktivis Islam dalam menjabarkan pemberdayaan masyarakat yang lebih nyata
di masing-masing wilayah dan tempat yang bisa jadi berbeda-beda.
JIHAD MELAWAN KEMALASAN
Setiap mengawali perkuliahan, saya senantiasa membuat kontrak belajar
dengan mahasiswa. Kontrak belajar dimaksudkan untuk menyamakan persepsi
dalam mencapai tujuan dari proses pembelajaran dan sekaligus sebagai
pedoman dalam menjalani proses perkuliahan selama satu semester serta
evaluasinya. Pada saat menyampaikan kontrak belajar berkaitan dengan
tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa, banyak dari mereka
yang terus ribut dan mengeluh, tugas lagi..., tugas lagi..., kenapa
harus ada tugas pak? tanya mahasiswa.
Tugas yang diberikan oleh dosen maksudnya untuk melatih mahasiswa dalam
merangkai kalimat, menyampaikan gagasan, melatih logika berpikir,
memberikan pemahaman yang mendalam tentang materi yang dipelajari dan
sekaligus mengembangkan diri mahasiswa. Jika mahasiswa tidak mendapatkan
tugas, perkuliahan itu seperti pengajian saja. Mahasiswa hanya
mendengarkan apa yang disampaikan oleh dosen. Mahasiswa tidak terlatih
dalam berpikir dan tidak ikut berproses dalam menumbuhkan gagasan,
menciptakan kreativitas dan pengembangan diri mahasiswa.
Tapi pak, kalau seluruh dosen mata kuliah memberikan tugas kepada
kita, apa nantinya tidak memberatkan mahasiswa? Tanya mahasiswa lainnya.
Disitulah keistimewaan mahasiswa, kata saya. Mahasiswa kan tugasnya
belajar, maka sebagian besar waktunya dihabiskan untuk belajar.
Mahasiswa harus mampu membagi waktu dengan sebaik-baiknya antara tatap
muka di ruang kelas, mengerjakan tugas, aktif di organisasi, membangun
hubungan sosial dengan masyarakat dan sebagainya. Mulai dari bangun
tidur di pagi hari hingga menjelang tidur lagi pada malam hari, seluruh
aktivitan tersebut perlu dikelola dengan sebaik-baiknya. Kita sudah
punya dasar yang kuat dari al-Qur’an surat al-Ashr bahwa waktu itu
sangat penting dalam kehidupan manusia. Jika kita tidak bisa
memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, kita akan termasuk orang-orang yang
merugi.
Bagaimana dengan masa muda kami pak, jika semua waktu dihabiskan untuk
belajar, apakah kami tidak diperbolehkan untuk berhubungan dengan lawan
jenis dan saling berbagi pengalaman dengan teman-teman di warung kopi,
cafe atau tempat lesehan? Yaa, tentu boleh dong, kata saya lebih lanjut.
Semua itu bisa dilakukan, selama tidak melanggar koridor yang sudah
ditentukan oleh Islam dan tidak mengganggu aktivitas belajar saudara.
Saudara sudah dewasa, sudah bisa menentukan dan memutuskan mana hal yang
bisa dilakukan dan mana hal yang tidak boleh dilakukan. Saudara juga
harus bisa memperhitungkan dengan baik bahwa masa kuliah saudara sangat
terbatas, jika saudara tidak bisa memanfaatkan kesempatan yang diberikan
oleh orang tua dengan sebaik-baiknya, saya khawatir nantinya saudara
terlena dan tidak memperoleh hasil yang maksimal. Saudara hanya
mendapatkan ijazah, tetapi kompetensi dan kepribadian yang baik tidak
dimiliki oleh saudara.
Apa itu tidak terlalu ideal bagi kami pak? Nyatanya kami sudah semester
empat belum merasakan ada dampak yang signifikan dalam diri kami setelah
kami mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen dan mengikuti
perkuliahan dengan baik.
Apa betul demikian saudara-saudara sekalian? tanya saya dengan nada
keheranan. Mereka ternyata menjawab tidak kompak, mungkin ada sebagian
besar yang merasakan demikian dan hanya sebagian kecil yang tidak setuju
kalau dikatakan bahwa tugas yang diberikan oleh dosen tidak memiliki
pengaruh bagi mahasiswa.
Baiklah, saya akan memberikan tugas kepada saudara untuk membuat tugas
kelompok yang ringan agar semua dapat mengerjakan dan dapat merasakan
dampak positif bagi diri saudara. Saya akan bagi menjadi tujuh kelompok
dari 35 orang mahasiswa. Kemudian saya beri waktu masing-masing kelompok
selama tiga minggu untuk mengerjakannya.
Pada saat mereka mengerjakan tugas saya meminta beberapa mahasiswa yang
saya percayai untuk melakukan penelitian dan penyidikan terhadap
masing-masing kelompok, bagaimana cara kerja mereka dalam tim. Hasil
penelitian dan penyidikan ini nantinya sebagai bahan evaluasi dan
sekaligus menjawab pertanyaan mahasiswa tentang dampak dari pemberian
tugas kepada mahasiswa.
Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, mereka sepakat untuk
mengumpulkan tugas dan mempresentasikan hasil yang dikerjakan oleh
masing-masing kelompok. Dalam presentasi tersebut, ada sebagian
mahasiswa yang betul-betul menguasai forum dan masalah yang dibahasnya,
ada yang mampu menguasai forum tetapi kurang menguasai materi yang
dibahas, ada yang tidak menguasai forum tetapi menguasi materi yang
dibahas, dan ada yang sama sekali tidak menguasai forum dan tidak
menguasai materi yang dibahas.
Setelah saya mengamati hasil presentasi mereka, kemudian saya mencoba
menanyakan satu persatu dari anggota kelompok tentang kerja tim mereka
dan bahan bacaan yang mereka cantumkan apakah dibaca oleh mereka atau
tidak. Pengecekan ini untuk mengkonfirmasi hasil penelitian dan
penyidikan sebagian mahasiswa yang saya percayai.
Hasilnya ternyata cukup mencengangkan, sebagian besar tugas kelompok
yang diberikan hanya dikerjakan oleh dua orang mahasiswa dan lainnya
hanya mencantumkan nama dalam kelompok tersebut. Mereka yang menguasai
forum tetapi tidak menguasai materi karena mereka telah terbiasa bicara
di hadapan forum. Mereka “asbun” (asal bunyi) meskipun tidak tahu arah
dan maksud yang sesungguhnya. Hasil lain yang didapat, ternyata dalam
mencantumkan bahan bacaan tidak berdasarkan temuan langsung dari sumber
buku utama, mereka hanya mengambil tulisan yang bersumber dari internet
dengan cara di copy paste dan digabungkan dengan sumber internet
lainnya. Tugas yang dibuat tidak berdasarkan alur berfikir yang
sistematis dan terencana dengan baik. Mereka hanya bisa mengutip
pendapat orang lain dan tidak ada hasil diskusi atau pendapat dari
kelompok itu sendiri. Kreativitas mereka ditutup sama sekali, sementara
ruang untuk mengambil ide orang diberi ruang yang sangat terbuka.
Dengan hasil yang demikian, akhirnya saya menjelaskan kepada seluruh
mahasiswa bahwa saya telah melakukan penelitian tindakan kelas dengan
melibatkan beberapa teman saudara dan pengamatan saya secara langsung
tentang team discussion. saya mencatat dari pertanyaan yang saudara
ajukan dahulu bahwa pemberian tugas oleh dosen kurang memberikan dampak
secara langsung kepada mahasiswa. Setelah saya amati ternyata saudara
ketika diberikan tugas oleh dosen tidak dilaksanakan. Saudara hanya
mencantumkan nama di cover tugas kelompok saudara (saya sebutkan satu
persatu nama-nama mahasiswa tersebut), tanpa ada upaya yang dilakukan
sama sekali. Ketika mau menjelang diskusi pun saudara tidak membaca
referensi untuk menghasilkan diskusi yang baik. Saudara hanya membaca
tulisan disaat makalah tersebut dibagikan kepada saudara. Bagaimana
saudara bisa merasakan dampaknya manakala saudara tidak melakukan proses
tersebut?
Coba saudara tanyakan kepada teman-teman saudara yang mengerjakan dengan
baik (saya sebutkan satu persatu nama yang mengerjakan tugas dengan
baik), tentu dia merasakan getir dan ni’matnya mengerjakan tugas. Mereka
dapat merangkai kalimat, mengatur waktu, dapat membaca buku yang
banyak, membuat alur berpikir dan semakin belajar bijaksana dalam
memecahkan masalah. Semua itu amat diperlukan ketika saudara sudah
menjadi alumni dan berinteraksi dengan dunia pekerjaan dan dunia
kehidupan saudara nanti.
Jika saudara mengambil jalan pragmatis dan instan dalam mengerjakan
tugas dan dalam proses perkuliahan yang saudara jalani. Sulit rasanya
saudara bisa maju dan berkembang. Bahkan, dunia pendidikan di Indonesia
akan jatuh terpuruk dalam pragmatisme. Kita hanya bisa memproduk sarjana
yang jumlahnya sangat banyak, tetapi kemampuan untuk merubah masyarakat
dan negara ini menjadi maju dan sejahtera, tidak bisa diharapkan. Oleh
karena itu, tugas kita sebagai mahasiswa dan dosen perlu melakukan jihad
dalam melawan kemalasan.
Saudara tidak perlu takut mendengar kata jihad. Memang akhir-akhir ini
makna jihad seringkali dibawa ke ranah politik. Jihad dipahami sebagai
bellum justum dan bellum pium (perang keadilan dan kesalehan).
Akibatnya, jihad dikesani dan dipraktekkan dalam ranah perang suci (the
holy war) yang berbuntut pada radikalisme dan terorisme. Jika pemaknaan
jihad tersebut terus menguasai wacana dan tidak ada upaya untuk
melakukan perlawanan, khawatir citra negatif terhadap Islam akan terus
bermunculan dan islampobia akan terus berkembang di kalangan masyarakat
Barat dan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mempraktekkan
makna jihad yang lebih membawa ke ranah sosial dan ke ruang yang lebih
rahmatan lil’alamin.
Kata kunci yang membuat bangsa dan masyarakat ini terpuruk adalah
kemalasan, maka sudah seharusnya kita melakukan jihad untuk melawan
kemalasan yang bersumber dari diri sendiri. Jihad yang sesungguhnya
adalah jihad melawan diri sendiri “dan barangsiapa yang berjihad, maka
sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam” (QS. 29:6).
Umat Islam sebenarnya sudah punya konsep yang bagus untuk melawan
kemalasan dan masing-masing individu umat Islam juga sudah mengetahui
tentang itu, yakni perlunya kerja keras dan bersungguh-sungguh. Dalam
surat al-Insyirah (QS. 94) ayat 7-8 “maka apabila kamu telah selesai
(dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. Kemudian
diperkuat dalam surat al-Jumu’ah (QS. 62) ayat 10 “apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
Secara konseptual dan kognitif sudah hapal dan paham tentang ayat di
atas, pertanyaannya, mengapa konsep tersebut tidak masuk dalam ranah
afektif dan psikomotrik sehingga umat Islam terdorong untuk melawan
kemalasan. Menurut saya, hal tersebut membutuhkan pembiasaan. Kata Ahmad
Amin, akhlak itu adalah kebiasaan untuk berkehendak. Pengetahuan tidak
akan menjadi tindakan apabila tidak diturunkan dalam bentuk
pembiasan-pembiasan. Saudara tidak bisa menjadi perenang, apabila
saudara hanya belajar di atas kertas dan berdiri di depan kolam renam.
Saudara harus menceburkan diri ke dalam kolam renang dan melatih diri
saudara secara terus menerus untuk menjadi perenang yang handal. Jika
dalam latihan ada satu dua kesalahan, hal tersebut merupakan tempaan
yang harus dilewati dan menjadi pengalaman yang sangat berarti.
Saudara harus punya obsesi dan mimpi-mimpi yang dapat mengalahkan
kemalasan saudara. Dengan obsesi dan mimpi yang saudara lakukan, saudara
akan termotivasi untuk terus menerus melakukan segala aktivitas dengan
senang dan membanggakan. Saudara tidak perlu malu, rendah diri dan
keberatan untuk melakukan segala aktivitas yang positif dan kosntruktif
untuk kehidupan saudara. Menurut Khoiruddin Bashori dalam salah satu
sesi pelatihan mengatakan bahwa bedanya seorang pemimpin dengan pemimpi
hanya pada hurup “N” yang bisa dimaknai pada nekat, neko-neko, dan niat.
Jika pemimpi memiliki modal nekat atau keberanian untuk melakukan
tindakan, maka dia bisa menjadi pemimpin.
Kemudian saya juga teringat dengan tulisan Andrie Wongso (2005), seorang
motivator terkenal di Indonesia, dalam salah satu bukunya “15 Wisdom
Success” yang mengatakan bahwa:
“jika ingin menciptakan kehidupan yang lebih baik, mau mengubah harapan
menjadi nyata, pasti, kita membutuhkan kata bijak pertama, jangan takut.
Kata bijak ini mengandung motivasi yang dapat melahirkan kekuatan
keberanian untuk bertindak. Jangan takut menentukan cita-cita yang
tinggi. Jangan takut mencoba dan memulai. Jangan takut menerima
tantangan. Jangan takut memeras keringat. Jangan takut mengemban
tanggung jawab yang lebih besar.
Namun ada kalanya, hasil perjuangan tidak sesuai dengan harapan.
Hambatan demi hambatan seolah memang diciptakan untuk menghadang kita.
Perjuangan pun bisa gagal total. Ini bisa membuat kita merasa diliputi
ketidakpuasan, kecewa, penyesalan. Pada titik seperti ini, kata bijak
berikutnya, jangan pernah menyesal, bisa menjadi kunci kebangkitan kita.
Buang jauh-jauh pikiran negatif. Penyesalan tidak akan dapat mengubah
apa pun, malah hanya membebani dan menghambat langkah kita ke depan.
Mampu menerima hasil perjuangan apa adanya adalah bijaksana, tetapi mau
tetap bangkit dengan apa adanya kita hari ini adalah luar biasa. Selama
kita telah berjuang memberikan yang terbaik dari yang kita miliki, apa
pun hasilnya, sukses atau gagal, yang pasti semangat perjuangan itu
telah memiliki nilai kesuksesan tersendiri. Jangan takut jangan pernah
menyesal”.
Begitulah penjelasan panjang lebar yang saya berikan kepada para
mahasiswa. Mereka seakan tidak percaya, ternyata apa yang mereka lakukan
selama ini mendapatkan evaluasi dan catatan panjang dari dosen. Mereka
sangat jarang mendapatkan evaluasi semacam ini. Kebanyakan evaluasi yang
diberikan oleh dosen pada soal ujian dan nilai yang muncul pada setiap
semester. Kami merasa senang dan berterima kasih atas evaluasi yang
bapak berikan kepada kami, kata salah seorang mahasiswa. Mudah-mudahan
evaluasi ini menjadi bahan introspeksi diri kami dan sekaligus sebagai
bahan masukan untuk kami tindaklajuti dengan sebaik-baiknya. Kami akan
berjihad untuk melawan kemalasan pada diri kami.
0 komentar:
Posting Komentar